helmintologi termasuk bagian dari perasitologi

HELMINTOLOGI

            Helmintologi adalah ilmu yang mempelajari parasit yang berupa cacing. Berdasarkan taksonomi, helmint dibagi menjadi :

  1. NEMATHELMINTHES (cacing gilik) (nama=benang)
  2. PLATYHELMINTHES (cacing pipih).

Stadium dewasa cacing-cacing yang termasuk NEMATHELMINTHES (kelas NEMATODA) berbentuk bulat memanjang dan pada potongan transversal tampak rongga badan dan alat-alat. Cacing ini mempunyai alat kelamin terpisah.

Dalam parasitologi Kedokteran diadakan pembagian nematoda menjadi nematoda usus yang hidup di rongga usus dan nematoda jaringan yang hidup di jaringan berbagai alat tubuh.

Cacing dewasa yang termasuk PLATYHELMINTES mempunyai badan pipih, tidak mempunyai rongga badan dan biasanya bersifat hemafrodit.

PLATYHELMINTHES dibagi menjadi kelas TREMATODA (cacing daun) dan kelas CESTODA (cacing pita). Cacing trematoda berbentuk daun, badannya tidak bersegmen, mempunyai alat pencernaan. Cacing CESTODA mempunyai badan yang berbentuk pita dan terdiri dari skoleks, leher dan badan (strobila) yang bersegmen (proglotid); makanan diserap melalui kulit (kutikulum) badan.

NEMATODA

NEMATODA mempunyai jumlah spesies yang terbesar diantara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing ini berbeda-beda dalam habitat, daur hidup dan hubungan hospes-parasit (host-parasite relationship).

Morfologi dan Daur Hidup

Besar dan panjang cacing Nematoda beragam; ada yang panjangnya beberapa milimeter dan ada pula yang melebihi satu meter. Cacing ini mempunyai kepala, ekor, dinding dan rongga badan dan alat-alat lain yang agak lengkap.

Biasanya sistem pencernaan, ekskresi dan reproduksi terpisah. Pada umumnya cacing bertelur, tetapi ada juga yang vivipar dan yang berkembangbiak secara partetogenesis. Cacing dewasa tidak bertambah banyak di dalam badan manusia. Seekor cacing betina dapat mengeluarkan ttelur atau larva sebanyak 20 sampai 200.000 butir sehari. Telur atau larva ini dikeluarkan dari badan hospes dengan tinja. Larva biasanya mengalami pertumbuhan dengan pergantian kulit. Bentuk infektif dapat memasuki badan manusia dengan berbagai cara; ada yang masuk secara aktif, ada pula yang tertelan atau dimasukkan oleh vektor melalui gigitan. Hampir semua nematoda mampunyai daur hidup yang telah diketahui dengan pasti.

NEMATODA USUS

Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Diantara nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan disebut “soil transmitted helminths” yang terpenting bagi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan beberapa spesies Trichostrongilus.

Nematoda usus lainnya yang penting bagi manusia adalah Oxyuris vermicularis dan trichinella spiralis.

 

Ascaris Lumbricoides

 

Hospes dan Nama Penyakit

Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. Penyakit yang disebabkannya disebut askariasis.

Distribusi Geografik

Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survei yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1970 – 1980 menunjukkan pada umumnya prevalensi 70% atau lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5% dan 72,6% masih ditemukan pada tahun 1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta sudah dilakukan pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan melalui tanah sejak 1987 di sekolah-sekolah dasar. Prevalensi Ascaris sebesar 16,8% di beberapa sekolah di Jakarta Timur pada tahun 1994 turun menjadi 4,9% pada tahun 2000.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing jantan berukuran 10 – 30 cm, sedangkan yang betina 22 – 35 cm. Stadium dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000 – 200.000 butir sehari; terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi.

Telur yang dibuahi, besarnya kurang lebih 60 x 45 mikron dan yang tidak dibuahi 90 x 40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu.

Bentuk infektif ini, bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuri aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding , masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena ransangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan.

 

 

Patologi dan Gejala Klinis

Gejala yang tiimbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva.

Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat  berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.

Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).

Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks, atau ke bronkus, dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan operatif.

 

 

Diagnosis

Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis. Selain itu diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung, maupun melalui tinja.   

Pengobatan

Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal pada masyarakat. Untuk perorangan dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya piperasin dosis tunggal untuk 10 mg/kgBB, mebendazol 2 x 100 mg/hari selama 3 hari atau 500 mg dosis tunggal, albendazol dosis tunggal 400 mg.

Oksantel-pirantel pamoat adalah obat yang dapat digunakan untuk infeksi campuran A.lumbricoides dan T.trichiura. untuk pengobatan masal perlu beberapa syarat, yaitu :

  1. Obat mudah diterima masyarakat
  2. Aturan pemakaian sederhana
  3. Mempunyai efek samping yang minim
  4. Bersifat polivalen, sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing
  5. Harganya murah

Prognosis

Pada umumnya askariasis mempunyai prognosisn baik. Tanpa pengobatan, infeksi cacing ini dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5 tahun. Dengan pengobatan, kesembuhan diperoleh antara 70 – 99%.

Epidemiologi

Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya antara 60 – 90%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencernaan tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah. Hal ini akan memudahkan terjadinya reinfeksi. Di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk.

Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antara 25° – 30°C merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur A.lumricoides menjadi bentuk infektif. Anjuran mencuci tangan sebelum makan, menggunting kuku secara teratur, pemakaian jamban keluarga serta pemeliharaan kesehatan pribadi dan lingkungan dapat mencegah askariasis.

 

Toxocara dan Toxoara cati

Hospes dan Nama Penyakit

Toxocara canic ditemukan pada anjing. Toxocara cati ditemukan pada kucing. Belum pernah ditemukan infeksi campuran pada satu macam hospes. Kadang-kadang cacing ini dapat hidup pada manusia sebagaiparasit yang mengembara (erratic parasite) dan menyebabkan penyakit yang disebut visceral larva migrans.
Distribusi Geografik

Cacing-cacing tersebar secara kosmopolit; juga ditemukan di Indonesia. Di jakarta prevalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26,0%.

Morfologi

            Toxocara canis jantan mempunyai ukuran panjang bervariasi antara 3,6 – 8,5 cm, sedangkan yang betina antara 5,7 – 10,0 cm, Toxocara cati jantan antara 2,5 – 7,8 cm, yang betina antara 2,5 – 14,0 cm.

            Bentuknya menyerupai Ascaris lumbricoides muda. Pada Toxocara canis terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangkan pada Toxocara cati bentuk sayap lebih lebar, sehingga kepallanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor kedua spesies hampir sama; yang jantan bentuk ekornya berbentuk seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk (digitiform), sedangkan yang betina ekornya bulat meruncing. Telur menjadi infekti8f di tanah dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Bentuk infektif ini dapat tertelanoleh anjing, kucing bahkan manusia.

Patologi dan gejala kloinis

            Pada manusia larva cacing tidak menjadi dewasa dan mengembara di alat-alat dalam,khususnya hati. Penyakit yang disebabkan larva yang mengembara ini disebut visceral larva migrans, dengan gejala eosinofilia, demam danhepatomegali. Visceral larva migrans dapat juga disebabkan oleh larva nematoda lain.

Diagnosis

            Diagnlosis pasti viscerallarva migrans dengan menemukan larva atau potongan larva dalam jaringan sukar ditegakkan.

            Reaksi imunologi dapat membantu menegakkan diagnosis.

 

Cacing Tambang

(hookworm)

 

            Ada beberapa  spesies cacing tambang yang penting, diantaranya:

Necator americanus                                                – Manusia

Ancylostoma duodenale                            – Manusia

Ancylostoma braziliense                            – Kucing, anjing

Ancylostoma ceylanicum                           – anjing, kucing

Ancylostoma caninum                                – anjing, kucing

 

 

            Necator americanus dan ancylostoma duodenale

Sejarah

            Kedua parasit ini diberi nama “cacing tambang” karana pada zaman dahulu cacing ini ditemukan di Eropa pada pekerja pertambangan, yang belummempunyai fasilitas sanitasi yang memadai.

Hopses dan nama penyakit

            Hopses parasit ini adalah manusia; cacing ini menyebabkan nekatoriasis dan ankilostomiasis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Distribusi geografik

            Penyebaran cacing ini diseluruh daerah khatulistiwa dan ditempat ,lain dengan keadaan yang sesuai, misalnya di daerah pertambangan dan perkebunan. Prevalensi di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan. Antara tahun 1972-1979 prevalensi di daerah pedesaan di indonesia adalah sekitar 50%. Pada survei-survei yang dilakukan Departemen Kesehatan di sepuluh propinsi di Indonesia  antara tahun 1990-1991 hanya didapatkan 0-24,7% sedangkan prevalensi sebesar 6,7% didapatkanpada pemeriksaan 2478 anak sekolah dasar di Sumatera Utara.

Morfologi dan Daur Hidup

            Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulut yang besar melekat pada mukosa dinding usus. Cacing betina N.americanus tiap hari mengeluarkan telur kira-kira 9000 butir, sedangkan A.duodenale kira-kira 10.000 butir. Cacing betina berukuran panjang kurang lebih 1 cm, cacing jantan kurang lebih 0,8 cm. Bentuk badan N.americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A.duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. N.americanus menyerupai bentuk kitin, sedangkan pada A.duodenale ada dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks.

            Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1 – 1,5 hari, keluarlah larva rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform, yang dapat menembus kulit dan dapat hidup selama 7 – 8 minggu di tanah.

            Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60 x 40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat 4 – 8 sel. Larva rabditiform panjangnya kira-kira 250 mikron, sedangkan larva filariform panjangnya kira-kira 600 mikron.

Daur hidup ialah sebagai berikut :

Telur → larva rabditiform → larva filariform → menembus kulit → kapiller darah → jantung kanan → paru → bronkus → trakea → laring → usus halus

            Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit. Infeksi A.duodenale juga mungkin dengan menelan larva filariform.

Patologi dan Gejala Klinik

            Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis

  1. Stadium larva :

Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasanya ringan.

  1. Stadium dewasa

Gejala tergantung pada (a) spesies dan jumlah cacing dan (b) keadaan gizi penderita (Fe dan protein).

Tiap cacing N.americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005 – 0,1 cc sehari, sedangkan A.duodenale 0,08 – 0,34 cc. Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga terdapat eosinofilia. Bukti adanya toksin yang menyebabkan anemia belum ada. Biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya berkurang dan prestasi kerja menurun.

Menurut Noerhajati, sejumlah penderita penyakit cacing tambang yang dirawat di Yogyakarta mempunyai kadar hemoglobin yang semakin rendah bilamana penyakit semakin berat. Golongan ringan, sedang, berat dan sangat berat mempunyai kadar Hb rata-rata berturut-turut 11,3 g%, 8,8 g%, 4,8 g% dan 2,6 g%.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva.

Untuk membedakan spesies N.americanus dan A.duodenale dapat dilakukan biakan tinja misalnya dengan cara Hadara-Mori.

Pengobatan

Pirantel pemoat memberikan hasil cukup baik, bilamana digunakan 2 – 3 hari berturut-turut.

Epidemiologi

            Insidens tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah, mendapat infeksi lebih dari 70%.

            Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun (di berbagai daerah tertentu) penting dalam penyebaran infeksi.

            Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk N.americanus 28° – 32°C, sedangkan untuk A.duodenale lebih rendah (23° – 25°C). Pada umumnya A.duodenale lebih kuat.

Untuk menghindari infeksi, antara lain ialah dengan memakai sandal atau sepatu.

 

Ancylostoma branziliense dan Ancylostoma caninum

Hospes dan nama penyakit

Kucing dan anjing merupakan hospes definitif. Cacing ini menyebabkan creeping eruption pada manusia.

Distribusi geografik

Kedua parasit ini ditemukan di daerah tropik dan subtropik, juga ditemukan di Indonesia.

Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan 72% A.brazilense, sedangkan pada sejumlah anjing terdapat 18% A.brazilense dan 68% A.cacinum.

Morfologi

            A.brazilense mempunyai dua pasang gigi yang tidak sama besarnya. Cacing jantan panjangnya antara 4,7 – 6,3 mm, yang betina antara 6,1 – 8,4 mm.

            A.caninum mempunyai tiga pasang gigi, cacing jantan panjangnya kira-kira 10 mm dan cacing betina kira-kira 14 mm.

 

 

Patologi dan Gejala Klinik

Pada manusia, larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan kulit dan disebut creeping eruption, creeping disease, atau cutaneous larva migrans.

Creeping eruption adalah suatu dermatitis dengan gambaran khas berupa kelainan intrakutan serpiginosa, yang antara lain disebabkan Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma cacinum. Pada tempat larva filariform menembus kulit terjadi papel keras, merah dan gatal. Dalam beberapa hari terbentuk terowongan intrakutan sempit, yang tampak sebagai garis merah, sedikit menimbul, gatal sekali dan bertambah panjang menurut gerakan larva di dalam kulit. Sepanjang garis yang berkelok-kelok, terdapat vesikel-vesikel kecil dan dapat terjadi infeksi sekunder karena kulit digarut.

Di Jakarta pernah dipelajari 46 kasus creeping eruption yang terdiri atas orang dewasa dan anak. Kelainan kulit terutama ditemukan pada kaki penderita dan antara lain juga pada lengan bawah, punggung dan pantat.

Diagnosis

Diagnosis creeping eruption ditegakkan dengan :

  1. Gambaran klinis yang khas pada kulit
  2. Biopsi

Pengobatan

Pengobatan dilakukan dengan :

  1. Semprotan kloretil
  2. Albendazol, dosis tunggal 400 mg selama 3 hari berturut-turut cukup efektif. Pada anak dibawah 2 tahun albendazol diberikan dalam bentuk salep 2%.

 

Ancylostoma ceylanicum

Cacing tambang anjing dan kucing ini dapat menjadi dewasa pada manusia. Di rongga mulut terdapat dua pasang gigiyang tadak dsama besarnya. Di antara 100 anjing, 37% mengandung  A.ceylanicum. cacing ini juga ditemukan pada 50 ekor kucing sebanyak 24%. Kelompok anjing dan kucing ini berasal dari Jakarta dan sekitarnya.

 

Trichulis trichiula

(Trichocephalus dispar, cacing cambuk)

Hospes dan Nama Penyakit

            Manusia merupakan hospes cacing ini. Penyakit yang disebabkannya disebut trikuriasis.

Distribusi geografik

            Cacing ini bersifat kosmopolit; terutama ditemukan di daerah panas dan lembab, seperti di Indonesia. Di beberapa daerah di Indonesia, prevalensi masih tinggi seperti yang dikemukakan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1990/1991 antara lain 53% pada masyarakat Bali, 36,2% di perkebunan di Sumatera Selatan. 51,6% pada sejumlah sekolah di Jakarta. Prevalensi di bawah 10% di temukan pada pekerja pertambangan di Sumatera Barat (2,84%) dan di sekolah-sekolah di Sulawesi Utara (7,42%). Pada tahun 1996 di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan infeksi trichuris ditemukan sebanyak 60% di antara 365 anak sekolah dasar.

Morfologi dan daur hidup

            Cacing betina panjangnya kira0kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian anterior seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina bentuknya membulat tumpul dan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa ini hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3.000 – 10.000 butir.

            Telur berukuran 50 – 54 mikron x 32 mikron berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3 – 6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi lambung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama secun, jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30 – 90 hari.


 

 

Patologi dan Gejala Klinis

            Cacing Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens.

            Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mucosa rektum yang mengalami prolabsus akibat mengejangnya penderita pada waktu defekasi.

            Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.

            Penderita terutama anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan menahun, menunjukkan gejala-gejala nyata seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia, berat badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum.

            Pada tahun 1976, bagian Parasitologi FKUI telah melaporkan 10 anak dengan trikuriasis berat, semuanya menderita diare yang menahun selama 2 – 3 tahun. Kini kasus berat trikuriasis tidak pernah dilaporkan lagi di Jakarta.

            Infeksi berat Trichuris trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Parasit ini ditemukan pada pemeriksaan tinja rutin.

 

Diagnosis

Diagnosis dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja.

Pengobatan

            Dahulu infeksi Trichuris sulit sekali diobati. Obat seperti tiabendazol dan ditiazanin tidak memberikan hasil yang memuaskan.

            Sekarang dengan adanya mebendazol dengan dosis 2×100 mg selama tiga hari atau dosis tunggal 500 mg, albendazol dosis tunggal 400 mg, dan oksantel diobati dengan hasil yang cukup baik.

Epidemiologi

            Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur di tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum kira-kira 300C. Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30 – 90%.

            Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negeri-negeri yang mamakai tinja sebagai pupuk.

 

 

Strongyloides stercoralis

Hospes dan Nama Penyakit

            Manusia merupakan hospes utama cacing ini. Parasit ini dapat menyebabkan penyakit strongilodiasis.

Distribusi Geografik

            Nematoda ini terutama terdapat di daerah tropik dan subtropik sedangkan di daerah yang beriklim dingin jarang ditemukan.

Morfologi dan Daur Hidup

Hanya diketahui cacing dewasa betina yang hidup sebagai parasit di vilus duodenun dan yeyunum. Cacing betina berbentuk filiform, halus, tidak berwarna dan panjangnya kira-kira 2 mm.

            Cara berkembang biaknya diduga secara partenogenesis. Telur bentuk parasitik diletakkan di mukosa usus, kemudian telur tersebut menetas menjadi larva labditiform yang masuk ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja. Parasit ini mempunyai tiga macan daur hidup:

  1. Siklus langsung

Sesudah 2 sampai 3 hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran kira-kira 225 x 16 mikron, berubah menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan bentuk infektif, panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru. Dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakea dan laring. Sesudah sampai di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi.

  1. Siklus tidak langsung

Pada siklus tidak langsung, larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk-bentuk bebas ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing yang betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan 2 buah spikulum. Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menjadi larva filariform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva rabditiform tersebut dapat juga mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negeri-negeri tropik dengan iklim lembab.

Siklus langsung sering terjadi di negeri-negeri yang lebih dingin dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk parasit tersebut.

 

 

  1. Autoinfeksi

Larva rhabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau di daerah sekitar anus (perianal); misalnya pada pasien Larva rhabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau di daerah sekitar anus (perianal); misalnya pada pasien yang menderita obstipasi lama sehingga bentuk rhabditiform sempat berubah menjadi filariform di dalam usus; pada pendita diare menahun dimana kebersihan kurang diperhatikan, bentuk rhabditiform akan menjadi filariform pada tinja yang masih melekat di sekitar dubur (perianal).

Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi suatu daur perkembangan di dalam hospes. Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita yang hidup di daerah non-endemik.

Patologi dan Gejala Klinik

            Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan kulit yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan rasa gatal yang hebat.

            Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda. Infeksi ringan dengan Stronglyoides pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual dan muntah; diare dan konstipasi saling bergantian. Pada strongiloidiasis ada kemungkinan terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hipeinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan di seluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan di berbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu). Sering ditemukan pada orang yang mengalami gangguan imunitas  dan dapat menimbulkan kematian.

            Pada pemeriksaan darah mungkin ditemukan eosinofilia atau hipersesinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal.

Diagnosis

Diagnosis klinis tidak pasti karena strongiloidiasis tidak memberikan gejala klinis yang nyata. Diagnosis pasti ialah bila menemukan larva rabditiform dalam tinja segar, dalam biakan atau dalam aspirasi duodenum. Biakan tinja selama sekurang-kurangnya 2 x 24 jam menghasilkan larva filariform dan cacing dewasa Strongyloides stercoralis yang hidup bebas.

Pengobatan

            Dahulu tiabendazol merupakan obat pilihan dengan dosis 25 mg per kg berat badan, satu atau dua kali sehari selama 2 atau 3 hari. Sekarang albendazol 400 mg satu/dua kali sehari selama tiga hari merupakan obat pilihan. Mebendazol 100 mg tiga kali sehari selama dua atau empat minggu dapat memberikan hasil yang baik. Mengobati orang yang mengandung parasit, meskipun kadang-kadang tanpa gejala, adalah penting mengingat dapat terjadi autoinfeksi. Perhatian khusus ditujukan kepada pembersihan sekitar daerah anus dan mencegah terjadinya konstipasi.

Prognosis

Pada infeksi berat strongilodiasis dapat menyebabkan kematian.

Epidemiologi

            Daerah yang panas, kelembaban tinggi dan sanitasi yang kurang, sangat menguntungkan cacing Strongyloides sehingga terjadi daur hidup yang tidak langsung.

            Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur, berpasir dan humus. Frekuensi di Jakarta pada tahun 1956 sekitar 10 – 15%, sekarang jarang ditemukan. Pencegahan strongyloidiasis terutama tergantung pada sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah pada tahun 1956 sekitar 10 – 15%, sekarang jarang ditemukan. Pencegahan strongyloidiasis terutama tergantung pada sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi, misalnya dengan memakai alas kaki.

            Penerangan kepada masyarakat mengenai cara penularan dan cara pembuatan serta pemakaian jamban juga penting untuk pencegahan penyakit strongyloidiasis.

 

EPIDEMIOLOGI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS

            Dampak infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah pada masyarakat perlu dipelajari untuk dapat menentukan cara-cara pencegahan. Penyebaran infeksi Ascaris dan Trihuris mempunyai pola yang hampir sama; demikian juga epidemiologi cacing tambang dan Strongyloides.

A.lumricoides dan T.Trichiura

            Beberapa survei yang dilakukan di Indonesia (tahun 1970 – 1974) menunjukkan bahwa seringkali prevalensi Ascaris yang tinggi disertai prevalensi Trichuris yang tinggi pula.

            Prevalensi Ascaris yang lebih tinggi dari 70% ditemukan antara lain di beberapa desa di Sumatra (78%), Kalimantan (79%), Sulawesi (88%), Nusa Tenggara Barat (92%) dan Jawa Barat (90%) . Di desa-desa tersebut prevalensi Trichuris juga tinggi yaitu untuk masing-masing daerah 83%, 83%, 83%, 84% dan 91%. Tingginya prevalensi di suatu daerah tergantung beberapa hal seperti: tahun dilakukannya survei, lokasi survei apakah di pedesaan atau kota, umur penduduk yang disurvei, kondisi iklim di daerah survei, sanitasi lingkungan dan sebagainya.

            Di daerah kumuh kota Jakarta infeksi Ascaris dan Trichuris sudah ditemukan pada bayi berumur kurang dari satu tahun. Pada umur satu tahun 80 – 100% di antara kelompok-kelompok anak ini pernah terkena infeksi Ascaris; untuk T.trichiura angkanya lebih rendah sedikit, yaitu 70%. Usia anak, yaitu 70%. Usia anak yang termuda mendapat infeksi Ascaris adalah 16 minggu, sedangkan untuk Trichuris adalah 41 minggu. Ini terjadi di lingkungan tempat kelompok anak berdefekasi di saluran air terbuka dan di halaman sekitar rumah (door yard infection). Karena kebiasaan seperti defekasi sekitar rumah, makan tanpa cuci tangan, bermain-main di tanah di sekitar rumah, maka khususnya anak balita akan terus menerus mendapat reinfeksi. Dengan demikian golongan rawan infeksi kedua spesies cacing ini adalah anak balita.

Di daerah endemi dengan insidens Ascaris dan Trichuris tinggi, terjadi penularan secara terus menerus. Transmisi ini dipengaruhi oleh berbagai hal yang menguntungkan parasit, seperti keadaan tanah dan iklim yang sesuai. Kedua spesies cacing ini memerlukan tanah liat untuk berkembang. Telur A.lumbricoides yang telah dibuahi dan jatuh di tanah yang sesuai, menjadi matang dalam waktu 3 minggu pada suhu optimun 25° – 30°C. Telur T.trichiura akan matang dalam 3 – 6 minggu pada suhu optimun kira-kira 30°C. Telur matang kedua spesies ini tidak menetas dalam tanah dan dapat bertahan hidup beberapa tahun, khususnya telur A.lumbricoides. selain keadaan tanah dan iklim yang sesuai, keadaan endemi juga dipengaruhi oleh jumlah telur yang dapat hidup sampai menjadi bentuk infektif dan masuk ke dalam tubuh hospes. Beberapa jenis antelmentik mempunyai efek memperlambat masa perkembangan telur bahkan menimbulkan perubahan bentuk telur sehingga memperkecil kemungkinan reinfektif.

Diketahui bahwa banyaknya telur yang dihasilkan satu ekor cacing betina adalah sebagai berikut : A.lumbricoides kira-kira 200.000 sehari, T.trichiura kira-kira 5000 sehari dan cacing tambang kira-kira 9000 – 10000 sehari.

Semakin banyak telur ditemukan di sumber kontaminasi (tanah, debu, sayuran dan lain-lain), semakin tinggi derajat endemi di suatu daerah. Jumlah telur yang dapat berkembang, menjadi semakin banyak pada masyarakat dengan infeksi yang semakin berat, karena berdefekasi di sembarangan tempat, khususnya di tanah, yang merupakan suatu kebiasaan sehari-hari.

Pada umumnya tidak ada perbedaan prevalensi infeksi Ascaris dan Trichuris antara kedua jenis kelamin.

 

Cacing tambang dan S.Stercoralis

Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar antara 30 – 50% di berbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di perkebunan karet di Sukabumi, Jawa Barat (93,1%) dan di perkebunan kopi di Jawa Timur (80,69%). Prevalensi infeksi cacing tambang cenderung meningkat dengan meningkatnya umur. Tingginya prevalensi juga dipengaruhi oleh sifat pekerjaan sekelompok karyawan atau penduduk. Sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut : kelompok karyawan, wanita maupun pria, yang mengolah tanah di perkebunan teh atau karet, akan terus menerus terpapar terhadap kontaminasi.

Kedua jenis cacing ini memerlukan tanah pasir yang gembur, tercampur humus dan terlindung dari sinar matahari langsung. Telur cacing tambang pada hari ke 5 – 8 menjadi bentuk filariform yang infektif. Suhu optimun bagi N.americanus adalah 28° – 32°C dan untuk A.duodenale adalah sedikit lebih rendah : 23° – 25°C. Ini salah satu sebab mengapa N.americanus lebih banyak ditemukan di Indonesia daripada A.duodenal.

Larva filariform cacing tambang dapat bertahan 7 – 8 minggu di tanah dan harus masuk menembus kulit manusia untuk meneruskan lingkaran hidupnya. Larva S.stercoralis berkembang lebih cepat daripada larva cacing tambang; dalam waktu 34 – 48 jam terbentuk larva filariform yang infektif. Larva ini mempunyai kelangsungan hidup yang pendek di tanah kira-kira 1 – 2 minggu, akan tetapi cacing ini mempunyai satu siklus bentuk bebas di tanah yang terus menerus menghasilkan bentuk infektif sehingga perkembangan bentuk bebas di tanah dapat mencapai endemitas tinggi. Larva ketiga spesies ini memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya, oleh karena itu olahan tanah dalam bentuk apapun di lahan pertanian dan perkebunan akan menguntungkan pertumbuhan larva.

Perkembangan di Tanah dan Suhu Optimum Bentuk Infektif Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah

Spesies Cacing

Perkembangan di Tanah

Suhu Optimun

Ketahanan Bentuk Infektif

A.lumbricoides

 

 

T.trichiura

 

 

Cacing tambang

 

 

 

 

 

 

S.stercoralis

Telur matang dalam 3 minggu di tanah liat

 

Telur matang dalam 3 – 6 minggu

 

Telur menetas dalam 24 – 36 jam keluar larva rabditiform yang pada hari ke 5 – 8 menjadi larva filariform, di pasir

 

 

Dalam 36 – 48 jam terbentuk larva filariform di tanah pasir. Ada siklus bentuk bebas di tanah

25° – 30°C

 

 

Kira-kira 30°C

 

 

N.americanus

28° – 30°C

 

 

A.duodenale

23° – 25°C

 

 

 

Tahan sekali

 

 

 

 

 

 

 

7 – 8 minggu dalam keadaan baik

 

 

 

1 – 2 minggu

 

Pencegahan dan Pemberantasan

Pencegahan dan pemberantasan cacing-cacing ini adalah dengan :

  1. Memutuskan rantai daur hidup dengan cara :
  2. Berdefekasi di kakus
  3. Menjaga kebersihan, cukup air bersih di kakus, mandi dan cuci tangan secara teratur
  4. Pengobatan masal dengan antelmintik yang efektif, terutama pada golongan rawan.
    1. Pemberian penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dan cara menghindari infeksi cacing-cacing ini.

Pengalaman membuktikan, bahwa ketentuan-ketentuan yang tertera di atas sangat sulit diterapkan di suatu masyarakat yang sedang berkembang. Pengertian sanitasi lingkungan yang baik sulit dikembangkan dalam masyarakat yang mempunyai keadaan sosio-ekonomi rendah, dengan keadaan seperti berikut :

  1. Rumah-rumah berhimpitan di daerah kumuh (slum area) di kota-kota besar yang mempunyai sanitasi lingkungan buruk, khususnya tempat anak balita tumbuh.
  2. Di daerah pedesaan anak berdefekasi dekat rumah dan orang dewasa di pinggir kali, di ladang dan perkebunan tempat ia bekerja.
  3. Penggunaan tinja yang mengandung telur hidup untuk pupuk di kebun sayuran.
  4. Pengolahan tanah pertanian/perkebunan dan pertambangan dengan tangan dan kaki telanjang, tedai terlindung.

Pengobatan masal meskipun ada obat yang ampuh, sulit dilaksanakan karena harus dilakukan 3 – 4 kali setahun dan harga obat tidak terjangkau. Maka penyuluhan kepada masyarakat menjadi penting sekali dan dititik beratkan dan mengembangkan sanitasi lingkungan yang baik. Dengan demikian keadaan endemi dapat dikurangi dan angka kesakitan (morbiditas) yang tinggi dapat diturunkan dalam masyarakat.

 

Enterobius vermicularis (Oxyuris vermicularis)

(cacing kremi, pinworm, seatworm)

 

Sejarah

Enterobius vermicularis telah diketahui sejak dahulu dan telah banyak dilakukan penelitian mengenai biologi, epidemiologi dan gejala klinisnya.

 

 

Hospes dan Nama Penyakit

Manusia adalah satu-satunya hospes dan penyakitnya disebut enterobiasis atau oksiuriasis.

Distribusi Geografik

Parasit ini kosmopolit tetapi lebih banyak ditemukan di daerah dingin daripada di daerah panas. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya orang di daerah dingin jarang mandi dan mengganti baju dalam. Penyebaran cacing ini ditunjang oleh eratnya hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya serta lingkungan yang sesuai.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing betina berukuran 8 – 13 mm x 0,4 mm. Pada ujung anterior ada pelebaran kutikulum seperti sayapp yang disebut alae. Bulbus esofagus jelas sekali, ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh dengan telur. Cacing jantan berukuran 2 – 5 mm, juga mempunyai sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda tanya (?); spikulum pada ekor jarang ditemukan. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga sekum. Makananannya adalah ini dari usus.

Cacing betina yang gravid mengandung 11.000 – 15.000 butir telur, bermigrasi ke daerah perinatal untuk bertelurr dengan cara kontraksi uterus dan vaginanya. Telur-telur jarang dikeluarkan di usus, sehingga jarang dittemukan di dalam tinja. Telur berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu sisi (asimetrik). Dinding telur bening dan agak lebih tebal dari dinding telur cacing tambang. Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 6 jam setelah dikeluarkan, pada suhu badan. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari.

Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di sekum. Cacing jantan mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur.

Infeksi cacing kremi terjadi bila menelan telur matang, atau bila larva dari telur yang menetas di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar. Bila telur matang yang tertelan, telur menetass di duedonum dan larva rabditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di yeyunum dan bagian atas ileum.

Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal, berlangsung kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan. Mungkin daurnya hanya berlangsung kira-kira 1 bulan karena telur-telur cacing dapat ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu sesudah pengobatan.

Infeksi cacing kremi dapat sembuh sendiri (self imited. Bila tidak ada reinfeksi, tanpa pengobatanpun infeksi dapat berakhir.

Pengobatan dan Gejala Klinis

            Enterobiasis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang berarti. Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus ani, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di daerah tersebut. Cacing betina gravid mengembara dan dapat bersarang di vagina dan di tuba Fallopii sehingga menyebabkan radang di saluran telur. Cacing sering ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabkan apendisitis.

Beberapa gejala karena infeksi cacing Enterobius vermucularis dikemukakan oleh beberapa penyidik yaitu kurang nafsu makan, berat badan turun, aktivitas meninggi, enuresis, cepat marah, gigi menggeretak, insomnia dan masturbasi, tetapi kadang-kadang sukar untuk membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi.

Diagnosis

Infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di sekitar anus pada waktu malam hari. Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa. Telur cacing dapat diambil dengan mudah dengan alat anal swab yang ditempelkan di sekitar anus pada waktu pagi hari sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat (cebok).

Anal swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya dilekatkan Scotch adhesive tape. Bila adhesive tape ini ditempelkan di daerah sekitar anus, telur cacing akan menempel pada perekatnya. Kemudian adhesive tape diratakan pada kaca benda dan dibubuhi sedikit toluol untuk pemeriksaan mikroskopik. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut.

Pengobatan dan Prognosis

Seluruh anggota keluarga sebaiknya diberi pengobatan dila ditemukan salah seorang anggota mengandung cacing kremi. Obat piperazin dosis tunggal 3 – 4 gram (dewasa) atau 25 mg/kg berat badan (anak-anak), sangat efektif bila diberikan padi hari diikuti minum segelas air sehingga obat sampai ke sekum dan kolon. Efek samping yang mungkin terjadi adalah mual dan muntah. Obat lain yang juga efektif adalah pirantel pamoat dosis 10 mg/kg berat badan atau mebendazol dosis tunggal 100 mg atau albendazol dosis tunggal 400 mg. Mebendazol efektif terhadap semua stadium perkembangan cacing kremi, sedangkan pirantel dan piperazin dosis tunggal tidak efektif terhadap stadium muda. Pengobatan sebaiknya diulang lagi 2 – 3 minggu kemudian.

Pengobatan secara periodik memberikan prognosis yang baik.

Epidemiologi

Penyebaran cacing kremi lebih luas daripada cacing lain. Penularan dapat terjadi pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama (asrama, rumah piatu). Telur cacing dapat diisolasi dari debu di ruangan sekolah atau kafetaria sekolah dan mungkin ini menjadi sumber infeksi bagi anak-anak sekolah. Di berbagai rumah tangga dengan beberapa anggota keluarga yang mengandung cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan (92%) di lantai, meja, kursi, bufet, tempat duduk kakus (toilet seats), bak mandi, alas kasur, pakaian dan tilam. Hasil penelitian maenunjukkan angka prevalensi pada berbagai golongan manusia 3% – 80%. Penelitian di daerah Jakarta Timur melaporkan bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita enterobiasis adalah kelompok usia antara 5 – 9 tahun yaitu 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa.

Penularan dapat dipengaruhi oleh :

  1. Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal (auto-infeksi) atau tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun kepada diri sendiri karena memegang benda-benda maupun pakaian yang terkontaminasi.
  2. Debu merupakan sumber infeksi oleh karena mudah diterbangkan oleh angin sehingga telur melalui debu dapat tertelan.
  3. Retrofeksi melalui anus; larva dari telur yang menetas di sekitar anus kembali masuk ke usus.

Anjing dan kucing bukan mengandung cacing kremi tetapi dapat menjadi sumber infeksi oleh karena telur dapat menempel pada bulunya.

Frekuensi di Indonesia tinggi, terutama pada anak dan lebih banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah. Frekuensi pada orang kulit putih lebih tinggi daripada orang negro.

Kebersihan perorangan penting untuk pencegahan. Kuku hendaknya selalu dipotong pendek, tangan dicuci bersih sesudah makan. Anak yang mengandung cacing kremi sebaiknya memakai celana panjang jika hendak tidur supaya alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah perianal.

Makanan hendaknya dihindarkan dari debu dan tangan yang mengandung parasit. Pakaian dan alas kasur hendaknya dicuci bersih dan diganti setiap hari.

 

Trichina spiralis

Sinonim Trichina spiralis Owen, 1835

Sejarah

Trichina spiralis, pertama kali ditemukan dalam bentuk larva yang terdapat dalam kista di dalam otot pasien-pasien yang diotopsi. Richard Owen (1835) adalah yang pertama kali mendeskripsikan parasit ini dan dinamakannya encysted larvae.

Hospes dan Nama Penyakit

Selain manusia, berbagai binatang seperti babi, tikus, beruang, kucing, anjing, babi hutan dan lain-lain dapat merupakan hospes. Penyakit yang disebabkan parasit ini disebut trikinelosis atau trikiniasis.

Distribusi Geografik

Cacing ini kosmopolit, tetapi di negeri-negeri beragama islam parasit ini jarang ditemukan pada manusia. Di Eropa dan Amerika Serikat parasit ini banyak ditemukan karena penduduknya mempunyai kebiasaan makan daging babi yang dimasak kurang matang (sosis).

 

 

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa bentuknya halus seperti rambut. Cacing betina berukuran 3 – 4 mm dan cacing jantan kira-kira 1,5 mm. Ujung anterior langsing dengan mulut kecil, bulat tanpa papel. Ujung posterior pada cacing betina membulat dan tumpul, pada cacing jantan melengkung ke ventral dengan dua buah papel.

Cacing betina bersifat vivipar dan biasanya masuk ke mukosa vilus usus,mulai dari duodenum sampai ke sekum. Seekor cacing betina dapat mengeluarkan kira-kira 1500 larva. Larva tersebut dilepaskan di jaringan mukosa, masuk ke dalam limfe dan peredaran darah, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh, terutama otot diafragm, iga, lidah, laring, mata, perut biseps dan lain-lain. Kira-kira pada awal minggu ke 4 larva yang telah tumbuh hanya menjadi kista dalam otot bergaris lintang.

Kista dapat hidup di otot selama kira-kira 18 bulan, kemudian terjadi perkapuran dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun. Infeksi terjadi bila daging babi yang mengandung larva infektif yang terdapat di dalam kista di makan.

Di usus halus bagian proksimal dinding kista dicernakan dan dalam waktu beberapa jam larva dilepaskan dan segera masuk mukosa, kemudian menjadi dewasa dalam waktu 1,5 – 2 hari.

Patologi dan Gejala Klinis

Gejala trikinosis tergantung pada beratnya infeksi yang disebabkan oleh cacing stadium dewasa dan stadium larva.

Pada saat cacing dewasa mengadakan invasi ke mukosa usus, timbul gejala usus seperti sakit perut, diare, mual dan muntah. Masa tunas gejala usus ini kira-kira 1 – 2 hari sesudah infeksi.

Larva tersebar di otot kira-kira 7 – 28 hari sesudah infeksi. Pada saat ini timbul gejala nyeri otot (mialgia) dan radang otot (miositis) yang disertai demam, eosinofilia dan hipereosinofilia.

Gejala yang disebabkan oleh stadium larva tergantung juga pada alat yang dihinggapi misalnya dapat menyebabkan sembab sekitar mata, sakit persendian, gejala pernapasan dan kelemahan umum. Dapat juga menyebabkan gejala akibat kelainan jantung dan susunan saraf pusat bila larva T.spiralis tersebar di alat-alat tersebut. Bila masa akut telah lalu, biasanya penderita sembuh secara perlahan-lahan bersamaan dengan dibentuknya kista dalam otot.

Pada infeksi berat (kira-kira 5000 ekor larva/kg berat badan) penderita mungkin meninggal dalam waktu 2 – 3 minggu, tetapi biasanya kematian terjadi dalam waktu 4 – 8 minggu sebagai akibat kelainan otak atau kelainan jantung.

Diagnosis

                Di samping diagnosis klinis yang tidak dapat diabaikan, diagnosis pasti sering tergantung pada pemeriksaan laboratorium. Tes kulit dengan memakai antigen yang terbuat dari larva Trichinella dapat memberikan reaksi positif kira-kira pada minggu ke 3 atau 4. Reaksi ini berupa tonjolan memutih pada kulit dengan diameter sebesar 5 mm atau lebih yang dikelilingi daerah eritema.

            Reaksi imunologi lainnya seperti tes ikat komplemen dan tes presipitin dapat juga dilakukan.

            Mencari larva di dalam darah dan cairan otak dapat dilakukan pada hari ke 8-14 hari sesudah infeksi. Dengan biopsi otot, larva Trichinella dapat ditemukan pada minggu ke 3 atau 4 sesudah infeksi.

 

 

Pengobatan

            Pengobatan terhadap penderita trikinosis terutama dialkukan secara simtomatis. Sakit kepala dan nyeri otot dapat dihilangkan dengan obat analgetik. Obat sedatif kadang-kadang perlu juga terutama bila ada kelainan saraf pusat.

            Untuk pengobatan spesifik, beberapa penyelidik akhir-akhir ini menunjukkan bahwa tiabendazol dapat digunakan dengan dosis 25 mg/kg berat badan dua kali sehari selama 5-7 hari. Mebendazol mempunyai efek mematikan terhadap fase invasif dan fase pembentukan kapsul Trichinella pada tikus, tetapi penggunaannya pada manusia belum ditetapkan.

Epidemiologi

            Dilihat dari daur hidupnya, ternyata babi dan tikus memelihara infeksi di alam. Infeksai pada babi terjadi karena babi makan tikus yang mengandung larva infektif dalam ototnya, atau karena babi makan sampah dapur dan penjagalan (garbage) yang berisi sisa-sisa daging babi yang mengandung larva infektif.

            Sebaliknya, tikus mendapat infeksi karena makan sisa daging babi di pejagalan atau di rumah dan juga karena makan bangkai tikus. Frekuensi trikinosis pada manusia tinggi di daerah tempat orang banyak makan babi yang diberi makanan dari sisa pejagalan, misalnya di Amerika Serikat daerah Timur Laut, sedangkan frekuensi di daerah selatan dan Barat-Tengah rendah, karena babi diberi makan gandum.

            Infeksi T.spiralis pada manusia tergantung dari lenyapnya penyakit ini pada babi, misalnya dengan memusnahkan sisa pejagalan yang mengandung potongan-potongan daging mentah. Pengolahan daging babi sebelum dimakan oleh manusia juga penting. Home made sausage dapat lebih berbahaya. Hendaknya dilakukan pula pendidikan pada ibu rumah tangga dalam cara memasak daging babi yang baik.

            Larva mati pada suhu kira-kira 600 C atau pada suhu jauh di bawah titik beku. Larva tidak mati dalam daging yang diasin atau diasap.

Daftar Rujukan

Margono SS. Cacing-cacing yang ditularkan melalui tanah di Indonesia. Monograf    1986 FKUI.

 

Margono SS, Koesharyono C, Kosin E. Hookworn in dogs and cats in the area of jakarta. Trop Geog Med, 1979;31:257-262.

 

Abidin SAN, Margono SS. Anthelmintics in the treatment of soil-transmitted helminthiosis in Indonesia (Expriences during the past 20 years) poster session in ICOPA IX, Izmir, Turki, 1995.

 

Noerhayati S. beberapa segi infeksi cacing tambang. Disertasi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 1978.

 

Margono SS. Beberapa kasus Trichuriasis berat.  Madji kedok indon, 1971;9:445-449.

 

Sri oemijati. Infeksi Stronglyiodes stercoralis di Jakarta. Disertasi fakultas kedokteran universitas Indonesia, 1956.

 

Liman WD, hadidjaja P, Abidin SA, Koesharjono. Penelitian Toxocara canis dan Toxocara catis di jakarta. Seminar Nasional Parasitologi V, Bogor, 1988.

 

Craig, Faust. Clinical Parasutologi, 8th ed. Lea and Febiger, philadelphia, 1971.

 

Neva FA, Brown HW. Basic clinical parasitology, 6th ed. Prentice Hall International Editions, 1994.

 

Beaver PC. Clinical Parasitology, 9th ed. 1984.

Rachmawaty A. Beberapa aspek epidemiologi enterobiasis dalam keluarga di RT 001/RW 01, kelurahan Balekambang Condet, Jakarta Timur. Tesis megister sains parasitologi, 1992.

 

Mansos’s Tropical disease, nineteenth edition, Manson-Bahr PEC and Bell DR, London, Philadelphia, 1987.

 

Ismid IS, suriptiastuti, Subahar R, Margono SS, Abidin SAN. Pengaruh beberapa antelmintik terhadap perkembangan telur A.lumbricoides. maj.kedokt.Ind. 1996, 46(11):605-9.

 

Margono SS, Tatang, RS, Sasongko A, Irawan HSJY, Subahar R. Result of ]a control program on soil-transmitted helminthiases in primary schools of East Jakarta, Indonesia. Second International Congress of parasitology and Tropical Medicine (2nd ICPTM), Kuala Lumpur, Malaysia, 9-11 October 2001.

 

Margono SS, Zit Z, ismid IS, Anwar C and Abidin SAN. Infection and re-reinfection rate of hookworn and other soil-trnasmitted helminthic infections in school children in south sumatra, Indonesia. In: Collected papers on the control of soil-transmitted helminthiases, Edits. Hayashi S et al. The asian parasite control organization 2001;7:118-24.

 

PPM/PLP, departemen kesehatan. Laporan survei terhadap prevalensi dan intensitas cacing yang ditularkan melalui tanah pada anak sekolah dasar di enam daerah Sumatra Utara, 1995.

 

Subahar R, Ismid IS, Abidin SAN, Margono SS. Pengaruh oksantel pirantel pamoat dan Mebendazol terhadap perkembangan telur T.Trichura. Maj. Parasitol.Ind. 1998;11(1):1-10. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

NEMATODA JARINGAN

            Di antara nematoda jaringan yang penting dalam Ilmu Kedokteran adalah : Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori, Loa Loa dan Onchocerca volvulus.

Wuchereria bancrofti

Hospes dan Nama Penyakit

W.bancrofti merupakan parasit manusia dan menyebabkan filariasis bankrofti atau wukereriasis bancrofti. Penyakit ini tergolong dalam filariasis limfatik, bersamaan dengan penyakit yang disebabkan oleh Brugia malayi dan Brugia timori. W.bancrofti tidak terdapat secara alami pada hewan.

Distribusi geografik

Parasit ini tersebar luas di daerah yang beriklim tropis di seluruh dunia dan terdapat di Indonesia.

Daur Hidup dan Morfologi

            Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan kelenjar limfe; bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Yang betina berukuran 65 – 100 mm x 0,25 mm dan yang jantan 40 mm x 0,1 mm. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dengan ukuran 250 – 300 mikron x 7 – 8 mikron. Mikrofilaria ini hidup di dalam darah dan terdapat di aliran darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja, jadi mempunyai periodisitas. Pada umumnya, mikrofilaria W.bancrofti bersifat periodisitas nocturna, artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tapi pada waktu malam. Pada siang hari, mikrofilaria, terdapat di kapiler alat dalam (paru-paru, jantung, ginjal, dan sebagainya).

Di daerah pasifik mikrofilaria W.bancrofti mempunyai periodisitas subperiodik diurna. Mikrofilaria terdapat di dalam darah siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak pada waktu siang. Di Muangthaiterdapat suatu daerah yang mikrofilarianya bersifat periodik nocturna. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi periodisitas mikrofilaria adalah kadar zat asam dan zat lemas di dalam darah, aktivitas hospes, “irama sirkadian”, jenis hospes dan jenis parasit, tetapi secara pasti mekanisme periodisitas mikrofilaria tersebut belum diketahui.

Di daerah perkotaan, parasit ini ditularkan oleh nyamuk Cules quinquefasciatus. Di pedesaan, vektornya berupa nyamuk Anopheles atau nyamuk Aides. Biasanya parasit ini tidak ditularkan oleh nyamuk Mansonia.

Daur hidup parasit ini memerlukan waktu sangat panjang, masa pertumbuhan parasit di dalam nyamuk kurang lebih 2 minggu.

Pada manusia, masa pertumbuhan tersebut belum diketahui secara pasti, tetapi diduga kurang lebih 7 bulan, sama dengan masa pertumbuhan parasit ini di dalam lutung (Presbytis). Mikrofilaria yang terisap oleh nyamuk, melepaskan sarungnya di dalam lambung, menembus dinding lambung dan bersarang diantara otot-otot toraks. Mula-mula parasit ini memendek, bentuknya menyerupai sosis yang disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih seminggu, larva ini bertukar kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang yang disebut larva stadium II. Pada hari ke sepuluh dan selanjutnya, larva ini bertukar kulit sekali lagi, tumbuh makin panjang dan lebih kurus dan disebut larva stadium III.

Gerak larva stadium III ini sangat aktif, bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke rongga abdomen dan kemudian ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk ke dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes, larva ini mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV, stadium V atau cacing dewasa. Umur cacing dewasa filaria 5 – 10 tahun.


 

 

Patologi dan Gejala Klinik

Gejala klinis filariasis limfatik dapat dibagi dalam dua kelompok. Yang disebabkan oleh cacing dewasa menimbulkan limfadenitis dan limfangitis retrograd dalam stadium akut, disusul dengan obstruksi menahun 10 sampai 15 tahun kemudian.

Mikrofilaria yang biasanya tidak menimbulkan kelainan dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan occult filariasis. Perjalanan penyakit filariasis limfatik dapat diagi dalam beberapa stadium: stadium mikrofilaremia tanpa gejala klinis, stadium akut dan stadium menahun. Ketika stadium tersebut tumpang tindih, tanpa ada batas yang nyata, gejala klinis filariasis bankrofti yang terdapat di suatu daerah mungkin berbeda dengan yang terdapat di daerah lain. Stadium akut ditandai dengan gejala peradangan pada saluran dan kelenjar limfe, berupa limfadengitis dan limfangitis retrograd. Gejala peradangan tersebut hilang timbul beberapa kali dalam setahun dan berlangsung beberapa hari sampai satu dua minggu lamanya. Yang paling sering dijumpai adalah peradangan pada sistem limfatik alat kelamin pria, menimbulkan funikulitis, epididimitis dan orkitis. Saluran sperma yang meradang, membengkak menyerupai tali dan sangat nyeri pada perabaan. Kadang-kadang saluran sperma yang meradang ini menyerupai hernia inkarserata. Pada stadium menahun gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah hidrokel. Kadang-kadang dijumpai gejala limfedema dan elefantiasis yang dapat mengenai seluruh tungkai, seluruh lengan, buah zakar, payudara dan vulva. Kadang-kadang dapat pula terjadi kiluria.

Diagnosis

            Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium.

  1. 1.    Diagnosis Parasitologi
  2. Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik konsentrasi Knott, membran filtrasi dan tes provokatif DEC. Pengambilan darah dilakukan malam hari mengingat periodisitas mikrofilarianya umumnya nokturna. Pada pemeriksaan histopatologi, kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat dijumpai di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai sebagai tumor.
  3. Diferensiasi spesies dan stadium filaria, yaitu dengan menggunakan pelacak DNA yang spesies spesifik dan antibodi monoklonal untuk mengindentifikasi larva filaria dalam cairan tubuh dan dalam tubuh nyamuk vektor sehingga dapat membedakan antara larva filaria yang menginfeksi manusia dengan yang menginfeksi hewan. Penggunaannya masih terbatas pada penelitian dan survei.
    1. 2.    Radiodiagnosis
    2. Pemeriksaan dengan ultrasanografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak (filarial dance sign). Ini berguna terutama untuk evaluasi hasil pengobatan.
    3. Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia.
      1. 3.    Diagnosis Imunologi

Dengan teknik ELISA dan immunochromatographic test (ICT). Ke dua teknik ini pada dasarnya menggunakan antibodi monoklonal yang spesifik untuk mendeteksi antigen W.bancrofti dalam sirkulasi. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah.

Pada stadium obstruktif, mikrofilaria sering tidak ditemukan lagi di dalam darah. Kadang-kadang mikrofilaria tidak dijumpai di dalam darah, tetapi ada di dalam cairan hidrokel atau cairan kiluria.

Pengobatan dan Prognosis

Selama lebih dari 40 tahun, dietilkarbomasin sitrat (DEC) merupakan obat pilihan baik untuk pengobatan perorangan maupun masal. DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan juga cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang. Pengobatan perorangan ditujukan untuk menghancurkan parasit dan mengeliminasi, mengurangi, atau mencegah kesakitan. Hingga saat ini, DEC merupakan satu-satunya obat yang paling efektif, aman dan relatif murah. Dosis yang dianjurkan adalah 6 mg/kg berat badan/hari selama 12 hari. Dosis harian obat tersebut dapat diberikan dalam tiga kali pemberian sesudah makan. Umumnya dari parasitnya diperlukan beberapa kali pengobatan.

Pada pengobatan masal (program pengendalian filariasis) pemberian DEC dosis standar tidak dianjurkan lagi mengingat efek sampingnya. Untuk itu, DEC diberikan dengan dosis lebih rendah, dengan jangka waktu pemberian yang lebih lama untuk mencapai dosis total yang sama misalnya dalam bentuk garam DEC 0,2 – 0,4 % selama 9 – 12 bulan. Atau pemberian obat dilakukan seminggu sekali (100 mg/minggu selama 40 minggu pada dewasa dan setengahnya pada usia < 10 tahun) atau DEC dosis tunggal setiap 6 bulan atau 1 tahun selama 5 tahun berturut-turut.

Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin adalah antibiotik semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematoda dan ektoparasit. Obat ini hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkannya lebih ringan dibanding DEC. Diberikan sebagai dosis tunggal 400 ug/kg berat badan; dapat sebagai obat tunggal (setiap 6 bulan sekali) atau dikombinasikan dengan dietil-karbamasin dosis tunggal (diberikan setahun sekali). Pengobatan kombinasi dapat juga dengan dosis tunggal DEC dan Albendazol 400 mg diberikan setiap tahun selama 5 tahun. Pengobatan kombinasi meningkatkan efek filarisida DEC. Yang dapat diobati adalah stadium elefantiasis. Hidrokel dan elefantiasis lanjut biasanya ditanggulangi dengan cara pembedahan. Penderita elefantiasis dianjurkan untuk menjaga kebersihan kulit organ yang terkena elefantiasis sehingga infeksi sekunder dengan jamur atau bakteri dapat dihindari dengan demikian mencegah terjadinya fibrosis kulit akibat infeksi berulang.

Efek Samping Obat  

Efek samping DEC dibagi dalam 2 jenis. Yang pertama sifat farmakologis, tergantung dosisnya, angka kejadian sama baik pada yang terinfeksi filariasis maupun tidak. Yang kedua adalah respons dari hospes yang terinfeksi terhadap kematian parasit; sifatnya tidak tergantung pada dosis obatnya tapi pada jumlah parasit dalam tubuh hospes.

Ada dua jenis reaksi :

  1. Reaksi sistemik atau tanpa demam, berupa sakit kepala, sakit pada berbagai bagian tubuh, sendi-sendi, pusing, anoreksia, lemah, hematuria transien, reaksi alergi, muntah, serangan asma. Reaksi ini terjadi beberapa jam setelah pemberian DEC dan berlangsung tidak lebih dari 3 hari. Demam dan reaksi sistemik jarang terjadi dan tidak terlalu hebat pada dosis kedua dan seterusnya. Reaksi ini akan hilang dengan sendirinya.
  2. Reaksi lokal dengan atau tanpa demam, berupa limfadenitis, abses, ulserasi, transien limfedema, hidrokel, funikulitis dan epididimitis. Reaksi ini cenderung terjadi kemudian dan berlangsung lebih lama sampai beberapa bulan, tetapi akan menghilang dengan spontan.

Reaksi lokal cenderung terjadi pada pasien dengan riwayat adenolimfangitis, berhubungan dengan keberadaan cacing dewasa atau larva stadium 4 dalam tubuh  hospes.

Efek samping pada pemberian ivermektin, patogenesisnya sama dengan pada pemberian DEC, hanya lebih ringan pada penderita filariasis malayi dibanfingkan filariasis bankrofti.

Epidemiologi

            Filariasis bancrofti dapat dijumpai di perkotaan atau di pedesaan. Di Indonesia parasit ini lebih sering dijumpai di pedesaan daripada di perkotaan dan penyebarannya bersifat fokal. Kurang lebih 20 juta penduduk Indonesia bermukim di daerah endemi filariasis bankrofti, malayi dan timori dan mereka sewaktu-waktu mungkin dapat ditulari. Kelompok umur dewasa muda merupakan kelompok penduduk yang paling sering menderita, terutama mereka yang tergolong penduduk berpenghasilan rendah. Obat DEC tidak mempunyai khasiat pencegahan. Oleh sebab itu, penduduk perlu dididik untuk melindungi dirinya dari gigitan nyamuk.

 

Brugia malayi dan Brugia timori

Hospes dan Nama Penyakit

Brugia malayi dapat dibagi dalam dua varian: yang hidup pada manusia dan yang hidup pada manusia dan hewan, misalnya kucing, kera, dan lain-lain. Brugia timori hanya terdapat pada manusia. Penyakit yang disebabkan oleh B.malayi disebut filariasis malayi dan yang disebabkan oleh B.timori disebut filariasis timori. Kedua penyakit tersebut kadang-kadang disebut sebagai filariasis brugia.

Distribusi geografik

B.malayi hanya terdapat di Asia, dari India sampai ke Jepang, termasuk Indonesia. B.timori hanya terdapat di Indonesia Timur di Pulauu Timur di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor, dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur.

Daur Hidup dan Morfologi

Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan pembuluh limfe. Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Yyang betina berukuran 55 mm x 0,16 mm (B.malayi), 21 – 39 mm x 0,1 mm (B.timori) dan yang jantan 22 – 23 mm x 0,09 mm (B.malayi), 13 – 23 mm x 0,08 mm (B.timori).

Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung. Ukuran mikrofilaria B.malayi adalah 200 – 260 mikron x 8 mikron dan B.timori 280 – 310 mikron x 7 mikron.

Periodesitas mikrofilaria B.malayi adalah periodik nokturna, subperiodik nokturna atau non periodik, sedangkan mikrofilaria B.timori mempunyai sifat periodik nokturna. B.malayi yang hidup pada manusia ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris dan yang hidup pada manusia dan hewan ditularkan oleh nyamuk Mansonia.B.timori ditularkan oleh nyamuk An.barbirostris. daur hidup kedua parasit ini cukup panjang, tetapi lebih pendek daripada W.bancrofti. Masa pertumbuhannya di dalam nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada manusia kurang lebih 3 bulan. Di dalam tubuh nyamuk kedua parasit ini juga mengalami dua kali pergantian kulit, berkembang dari larva stadium I menjadi larva stadium II dan III, menyerupai perkembangan parasit W.bancrofti . di dalam tubuh manusia perkembangan kedua parasit tersebut juga sama dengan perkembangan W.bancrofti.

Patologi dan Gejala Klinis

Gejala klinis filariasis malayi sama dengan gejala klinis filariasis timori. Gejala klinis kedua penyakit tersebut berbeda dengan gejala klinis filariasis bankrofti. Stadium akut ditandai dengan serangan demam dan gejala peradangan saluran dan kelenjar limfe, yang hilang timbul berulang kali. Limfadenitis biasanya mengenai kelenjar limfe inguinal di satu sisi dan peradangan ini sering timbul setelah penderita bekerja berat di ladang atau sawah. Limfadenitis biasanya berlangsung 2 – 5 hari dan dapat sembuh dengan sendirinya, tanpa pengobatan. Kadang-kadang peradangan pada kelenjar limfe ini menjalar ke bawah, mengenai saluran limfe dan menimbulkan limfangitis retrograd, yang bersifat khas untuk filariasis. Peradangan pada saluran limfe ini dapat terlihat sebagai garis merah yang menjalar ke bawah dan peradangan ini dapat pula menjalar ke jaringan sekitarnya, menimbulkan infiltrasi pada seluruh paha atas. Pada stadium ini tungkai bawah biasanya ikut membengkak dan menimbulkan gejala limfedema. Limfadenitis dapat pula berkambang menjadi bisul, pecah menjadi ulkus. Ulkus pada pangkal paha ini, bila sembuh meninggalkan bekas sebagai jaringan parut dan tanda ini merupakan salah satu gejala obyektif filariasis limfatik. Limfadenitis dengan gejala komplikasinya dapat berlangsung beberapa minggu sampai tiga bulan lamanya. Pada filariasis brugia, sistem limfe alat kelamin tidak pernah terkena, berbeda dengan filariasis bankrofti. Limfedema biasanya hilang lagi setelah gejala peradangan menyembuh, tetapi dengan serangan berulang kali, lambat laun pembengkakan tungkai tidak menghilang pada saat gejala peradangan sudah sembuh, akhirnya timbullah elefantiasis. Kecuali kelenjar limfe inguinal, kelenjar limfe lain di bagian medial tungkai, di ketiak dan di bagian medial lengan juga sering terkena. Pada filariasis brugia, elefantiasis hanya mengenai tungkai bawah, di bawah lutut, atau kadang-kadang lengan bawah di bawah siku. Alat kelamin dan payudara tidak pernah terkena, kecuali di daerah filariasis brugia yang bersamaan dengan filariasis bankrofti. Kiluria bukan merupakan gejala klinis filariasis brugia.

Diagnosis   

Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dibuktikan dengan menemukan mikrofilaria di dalam darah tepi.

  1. Diagnosis parasitologi: sama dengan pada filariasis bankrofti, kecuali sampel berasal dari darah saja.
  2. Radiadiagnosis umumnya tidak dilakukan pada filariasis malayi.
  3. Diagnosis imunologi belum dapat dilakukan pada filariasis malayi.

Pengobatan dan Prognosis

Hingga sekarang DEC masih merupakan obat pilihan. Dosis yang dipakai di beberapa negara Asia berbeda-beda. Di Indonesia dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Efek samping DEC pada pengobatan filariasis brugia jauh lebih berat, bila dibandingkan dengan yang terdapat pada pengobatan filariasis bankrofti. Untuk pengobatan masal pemberian dosis standar dan dosis tunggal tidak dianjurkan. Yang dianjurkan adalah pemberian dosis rendah jangka panjang (100 mg/minggu selama 40 minggu) atau garam DEC 0,2 – 0,4% selama 9 – 12 bulan. Pengobatan dengan Ivermektin sama dengan pada filariasis bankrofti. Untuk mendapatkan hasil penyembuhan yang sempurna, perlu pengobatan ini diulang beberapa kali. Stadium mikrofilaremia, gejala peradangan dan limfedema dapat disembuhkan dengan pengobatan DEC. Kadang-kadang elefantiasis dini dan beberapa kasus elefantiasis lanjut, dapat pula diobati dengan DEC.

 

Epidemiologi

B.malayi dan B.timori hanya terdapat di pedesaan, karena vektornya tidak dapat berkembang biak diperkotaan.

B.malayi yang hanya hidup pada manusia dan B.timori biasanya terdapat di daerah persawahan, sesuai dengan tempat perindukan vektornya, An.barbirostris. B.malayi yang terdapat pada manusia dan hewan biasanya terdapat di pinggir pantai atau aliran sungai, dengan rawa-rawa. Penyebaran B.malayi bersifat fokal, dari Sumatra sampai ke kepulauan Maluku. B.timori hanya terdapat di Indonesia bagian Timur yaitu N.T.T. dan Timor-Timur. Yang terkena penyakit ini terutama adalah petani dan nelayan. Kelompok umur dewasa muda paling sering terkena penyakit ini, sehingga produktivitas penduduk dapppat berkurang akibat serangan adenolimfangitis yang berulang kali. Cara pencegahan sama dengan filariasis bankrofti.

 

Epidemiologi Filariasis

 

Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan merupakan masalah di daerah dataran rendah. Tetapi kadang-kadang dapat juga ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. Di Indonesia penyakit ini lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan. Yang terdapat di kota hanya W.bancrofti yang telah ditemukan di kota Jakarta, Tangerang, Pekalongan dan Semarang dan mungkin di beberapa kota lainnya.

Di Indonesia filariasis tersebar luas; daerah endemi terdapat di banyak pulau di seluruh Nusantara, seperti di Sumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimatan, Sulawesi, NTT, Maluku dan Irian Jaya. Masih banyak daerah yang belum diselidiki.

Prevalensi infeksi sangat variabel; ada daerah yang non-endemik dan ada pula daerah-daerah dengan derajat endemi yang tinggi seperti di Irian Jaya dan Pulau Buru dengan derajat infeksi yang dapat mencapai 70%. Prevalensi infeksi dapat berubah-ubah dari masa ke masa dan pada umumnya ada tendensi menurun dengan adanya kemajuan dalam pembangunan yang menyebabkan perubahan lingkungan. Untuk dapat memahami epidemiologi reservoar, vektor dan keadaan lingkungan yang sesuai untuk menunjang kelangsungan hidup masing-masing.

Hidup

Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemi (transmigrasi) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita daripada penduduk asli. Pada umumnya laki-laki untuk mendapat infeksi (exposure). Juga gejala penyakit lebih nyata pada laki-laki, karena pekerjaan fisik yang lebih berat.

Hospes Reservoar

Tipe B.malayi yang dapat hidup pada hewan merupakan sumber infeksi untuk manusia. Yang sering ditemukan mengandung infeksi adalah kucing dan kera terutama jenis Presbytis, meskipun hewan lain mungkin juga terkena infeksi.

Vektor

Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis cacing filarianya.

W.bancrofti yang di daerah pedesaan (rural) dapat ditularkan oleh bermacam spesies nyamuk. Di Irian Jaya W.bancrofti ditularkan terutama oleh An.farauti yang dapat menggunakan bekas jejak kaki binatang (hoofprint) untuk tempat perindukannya. Selain itu ditemukan juga sebagai vektor: An.koliensis, An.punctulatus, Cx.annulirostris dan Ae.kochi, W.bancrofti di daerah lain dapat ditularkan oleh spesies lain, seperti An.subpictus di daerah pantai di NTT. Juga nyamuk Culex, Aedes, pernah ditemukan sebagai vektor.

 B.malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti Mn.uniformis, Mn.bonneae, Mn.dives  dan lain-lain, yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatra, Kalimantan, Maluku, dan lain-lain.

B.malayi yang periodik ditularkan oleh An.barbirostris yang memakai sawah sebagai tempat perindukannya, seperti di daerah Sulawesi.

B.timori, spesies baru yang ditemukan di Indonesia sejak 1965 hingga sekarang hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor Timur, ditularkan oleh An.barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman.

Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang dapat menunjang kelangsungan hidup hospes, hospes reservoar dan vektor, merupakan hal yang sangat penting untuk epidemiologi filariasis. Dengan demikian, filariasis yang ada di suatu daerah endemi dapat diduga jenisnya dengan melihat keadaan lingkungan.

Untuk pencegahan filariasis, hingga sekarang hanya dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk. Untuk mendapat infeksi diperlukan gigitan nyamuk yang banyak sekali.

Untuk pemberantasan, pengobatan masal dengan DEC selalu menurunkan angka filariasis dengan jelas. Pencegahan dengan obat-obatan masih dalam taraf penelitian.

 

 

“Occult filariasis”

(tropikal pulmonary eosinophilia)

 

 

Distribusi Geografik

 

Penyakit ini dilaporkan dari Indonesia, Singapura, Vietnam, Muangthai, Afrika dan Curacao.  

Patologi dan Gejala klinis

Occult filariasis adalah penyakit filariasis imfatik, yang disebabkan oleh penghancuran mikrofilaria dalam jumlah yang berlebihan oleh sistem kekebalan penderita. Mikrofilaria dihancurkan oleh zat anti dalam tubuh hospes akibat hipersensitivitas terhadap antigen mikrofilaria. Gejala penyakit ini berupa hipereosinofilia, peningkatan kadar serum IgE, kelainan klinis yang menahun dengan pembengkakan kelenjar limfe dan gejala asma bronkial.

Hipereosinofilia merupakan salah satu gejala utama dan gejala ini seringkali merupakan petunjuk ke arah etiologi penyakit tersebut. Jumlah leukosit biasanya ikut meningkat akibat meningkatnya jumlah sel eosinofil dalam darah. Yang paling sering terkena adalah kelenjar limfe inguinal. Kadang-kadang dapapt pula terkena kelenjar limfe leher, lipat siku atau kelenjar limfe di tempat lain. Mungkin pula terdapat permbesaran kelenjar limfe di seluruh tubuh, menyerupai penyakit Hogkin. Bila paru terkena maka gejala klinis dapat berupa batuk dan sesak napas, terutama pada waktu malam, dengan dahak yang kental dan mukopurulen. Foto Roentgen paru biasanya memperlihatkan garis-garis yang berlebihan pada kedua hilus dan bercak-bercak halus terutama di lapangan paru bawah. Gejala lain dapat berupa demam subfebril, pembesaran limpa dan hati. Mikrofilaria tidak dijumpai di dalam darah, tetapi mikrofilaria atau sisa-sisanya dapat ditemukan di jaringan kelenjar limfe, paru, limpa dan hati. Pada jaringan tersebut terdapat benjolan-benjolan kecil berwarna kuning kelabu dengan penampang 1 – 2 mm, terdiri dari infiltrasi sel eosinofil dan dikenal dengan nama benda Meyers Kouwenaar. Di dalam benda-benda inilah dapat ditemukan sisa-sisa mikrofilaria.

Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, hipereosinofilia, peningkatan kadar IgE yang tinggi, peningkatan zat anti terhadap mikrofilaria dan gambaran Roentgen paru.

Konfirmasi diagnosis tersebut adalah dengan menemukan benda Meyers Kouwenaar pada sediaan biopsi, atau dengan melihat perbaikan gejala setelah pengobatan dengan DEC.

Pengobatan

Obat pilihan adalah DEC dengan dosis 6 mg/kg berat badan/hari selama 2 – 3 minggi. Pada stadium dini penderita dapat disembuhkan dan parameter darah dapat putih kembali sampai kadar yang hampir normal. Pada stadium klinik lanjut, seringkali terdapat fibrosis dalam paru dan dalam keadaan tersebut, fungsi paru mungkin tidak dapat pulih sepenuhnya.

 

Loa loa

(Cacing Loa, cacing mata)

 

 

Sejarah

Untuk pertama kali Mongin pada tahun 1770 mengeluarkan ccing dewasa Loa loa dari mata seorang wanita Negro di Santo Damingo, Hindia Barat.

Hospes dan Nama Penyakit

Parasit ini hanya ditemukan pada manusia. Penyakitnya disebut loaiasis atau Calabar swelling (fugitive swelling). Loaiasis terutama terdapat di afrika Barat, Afrika Tengah dan Sudan.

Distribusi Geografik

Parasit ini tersebar di daerah khatulistiwa di hutan yang berhujam (rain forest) dan sekitarnya; ditemukan di Afrika tropik bagian Barat dari Sierra Leone sampai Angola, lembah sungai Kongo, Republik Kongo sendiri, Kamerun dan Nigeria bagian Selatan.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa hidup dalam jaringan subkutan, yang betina berukuran 50 – 70 mm x 0,5 mm dan yang jantan 30 – 34 mm x 0,35 – 0,43 mm. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang beredar dalam darah pada siang hari (diurna). Pada malam hari mikrofilaria berada dalam pembuluh darah paru-paru.

Mikrofilaria mempunyai sarung berukuran 250 – 300 mikron x 6 – 8,5 mikron, dapat ditemukan dalam urin, dahak dan kadang-kadang ditemukan dalam cairan sumsum tulang belakang. Parasit ini ditularkan oleh lalat Chrysops. Mikrofilaria yang beredar dalah darah diisap oleh lalat dan setelah kurang lebih 10 hari di dalam badan serangga, mikrofilaria tumbuh menjadi larva infektif dan siap ditularkan kepada hospes lainnya. Cacing dewasa tumbuh dalam badan manusia dalam waktu 1 sampai  4 tahun kemudian berkopulasi dan cacing dewasa betina mengeluarkan mikrofilaria.

Patologi dan Gejala Klinis

Cacing dewasa yang mengembara dalam jaringan subkutan dan mikrofilaria yang beredar dalam darah seringkali tidak menimbulkan gejala. Cacing dewasa dapat ditemukan di seluruh tubuh dan seringkali menimbulkan gangguan di konjungtiva mata dan pangkal hidung dengan menimbulkan iritasi pada mata, mata sendat, sakit, pelupuk mata menjadi bengkak sehingga mengganggu penglihatan. Secara psikis, pasien menderita. Pada saat-saat tertentu penderita menjadi hipersensitif terhadap zat sekresi yang dikeluarkan oleh cacing dewasa dan menyebabkan reaksi radang bersifat temporer. Kelainan yang khas ini dikenal dengan Calabar swelling atau fugitive swelling. Pembengkakan yang tidak sakit dan nonpitting ini dapat menjadi sebesar telur ayam. Lebih sering terdapat di tangan atau lengan dan sekitarnya. Timbulnya secara spontan dan menghilang setelah beberapa hari atau seminggu sebagai manifestasi spontan dan menghilang setelah beberapa hari atau seminggu sebagai manifestasi hipersensitif hospes terhadap parasit. Masalahutama adalah bila cacing masuk ke otak dan menyebabkan ensenfalitis. Cacing dewasa dapat pula ditemukan dalam cairan serebrospinal pada orang yang menderita meningoensefalitis.

Diagnosis

Diagnosis dibuat dengan menemukan mikrofilaria dalam darah yang diambil pada waktu siang hari atau menemukan cacing dewasa di konjungtiva mata ataupun dalam jaringan subkutan.  

Pengobatan

Selama lebih dari 40 tahun dietilkarbamasin (DEC) merupakan obat pilihan, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari, 3 kali/hari selama 14 hari. DEC membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa; juga dipakai untuk profilaksis akan tetapi efek sampingnya berat. Saat ini Ivermektin merupakan obat pilihan untuk loaiasis.

Cacing dewasa di dalam mata harus dikeluarkan dengan pembedahan yang dilakukan oleh seorang yang ahli.

Prognosis

Prognosis biasanya baik bila cacing dewasa dapat dikeluarkan dari mata atau bila pengobatan berhasil dengan baik.

 

Epidemiologi

Daerah endemi adalah daerah lalat Chrysops silacea dan Chrysops dimidiata yang mempunyai tempat perindukan di hutan yang berhujan dengan kelembaban tinggi. Lalat-lalat ini menyerang manusia, yang sering masuk hutan, maka penyakitnya lebih banyak ditemukan pada pria dewasa.

Pencegahan dapat dilakukan dengan menghidari gigitan lalat atau dengan pemberian obat sebulan sekali, selama 3 hari berturut-turut.

 

Onchocerca volvulus

(filaria volvulus)

 

Sejarah

O’Neill meneliti mikrofilaria parasit ini di dalam kulit seorang penderita di afrika Barat pada tahun 1875. Kemudian seorang dokter Jerman menemukan cacing dalam benjolan kulit dari orang Negro di Ghana, Afrika Barat, lalu dinamakan sebagai Filaria volvulus oleh Leukard 1893. Tahun 1915 Robles menemukan cacing Onchocerca di guatemala dan oleh Brumpt diidentifikasi sebagai cacing Onchocerca caecutiens,tetapi kemudian dinamakan cacing Oncocerca volvulus.

Hospes dan Nama Penyakit

Parasit ini ditemukan pada manusia. Penyakitnya disebut onkoserkosis, onkosersiasis, river blindness, blinding filariasis.

Distribusi Geografik

Parasit ini banyak ditemukan pada penduduk, dari pantai Barat Sierra Leone menyebar ke Republik Kongo, Angola, Sudan sampai Afrika Timur. Di Amerika Tengah terbatas di daratan tinggi sepanjang sungai tempat perindukan lalat Simulium. Di Amerika Selatan terdapat di dataran tinggi Guatemala, Mexico dan bagian timur Venezuela.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa hidup dalam jaringan ikat; melingkar satu dengan lainnya seperti benang kusut dalam benjolan (tumor). Cacing betina berukuran 33,5 – 50 cm x 270 – 400 mikron dan cacing jantan 19 – 42 mm x 130 x 210 mikron. Bentuknya seperti kawat berwarna putih, opalesen dan transparan. Cacing betina berukuran 33,5 – 50 cm x 270 – 400 mikron dan cacing jantan 19 – 42 mm x 130 x 210 mikron. Bentuknya seperti kawat berwarna putih, opalesen dan transparan. Cacing betina yang gravid mengeluarkan mikrofilaria di dalam jaringan subkutan, kemudian mikrofilaria meninggalkan jaringan subkutan mencari jalan ke kulit. Mikrofilaria mempunyai dua macam ukuran yaitu 285 – 368 x 6 – 9 mikron dan 150 – 287 x 5 – 7 mikron. Bagian kepala dan ujung ekor tidak ada inti dan tidak mempunyai sarung. Bila lalat Simulium menusuk kulit dan menghisap darah manusia maka mikrofilaria akan terisap oleh lalat, kemudian mikrofilaria menembus lambung lalat, masuk ke dalam otot toraks. Setelah 6 – 8 hari berganti kulit dua kali dan menjadi larva infektif. Larva infektif masuk ke dalam probosis lalat dan dikeluarkan bila lalat mengisap manusia. Larva masuk lagi ke dalam jaringan ikat menjadi dewasa dalam tubuh hospes dan mengeluarkan mikrofilaria.

Patologi dan Gejala Klinis

Ada dua tipe onkosersiasis :

  1. Tipe forest dimana kelainan kulit lebih dominan
  2. Tipe savanna dimana kelainan mata yang dominan

Manifestasi onkosersiasis terutama berupa kelainan pada kulit, sistem limfatik dan mata.

Ada dua macam proses patologi yang ditimbulkan oleh parasit ini, pertama oleh cacing dewasa yang hidup dalam jaringan ikat yang merangsang pembentukan serat-serat yang mengelilingi cacing dalam jaringan, kedua oleh mikrofilaria yang dikeluarkan oleh cacing betina dan ketika mikrofilaria beredar dalam jaringan menuju kulit. Pada umumnya lesi mengenai kulit dan mata. Kelainan yang disebabkan oleh cacing dewasa berupa benjolan-benjolan dalam jaringan subkutan yang dikenal sebagai onkoserkoma. Ukuran benjolan bermacam-macam dari yang kecil sampai sebesar lemon. Jumlah benjolanpun bermacam-macam dari sedikit sampai lebih dari seratus. Letak benjolan biasanya di atas tontolan-tonjolan tulang seperti pada skapula, iga, tengkorak, siku-siku, krista iliaka lutut dan sakrum dan menyebabkan kelainan kosmetik. Benjolan dapat digerak-gerakkan dan tidak terasa sakit (nyeri).

Kelainan yang ditimbulkan oleh mikrofilaria lebih berat daripada oleh cacing dewasa karena mikrofilaria dapat menyerang mata dan menimbulkan gangguan pada saraf-saraf optik dan retina mata. Ada beberapa anggapan tentang patologi kelainan mata, yaitu : 1) reaksi mekanik atau reaksi sekret yang dikeluarkan oleh mikrofilaria hidup, 2) toksin yang dihasilkan oleh mikrofilaria mati, 3) toksin dari cacing dewasa dan 4) penderita supersensitif terhadap parasit. Pertama-tama gejala timbul ialah fotofobia, lakrimasi, blefarospasmus dan sensasi dari benda asing. Kelainan mata lebih banyak ditemukan pada penduduk dengan banyak benjolan di bagian atas badan. Reaksi radang tidak begitu hebat bila mikrofilaria masih dalam keadaan hisup tetapi reaksi radang makin hebat bila mikrofilaria banyak yang mati. Hal ini perlu diperhatikan pada waktu pengobatan. Sering ditemukan limbitis dengan pigmentasi coklat. Pada kasus menahun dapat terjadi keratitis berbintik, glaukoma, atrofi yang berakhir dengan kebuataan. Pruritic dermatitis disebabkan oleh karena gerakan mikrofilaria dan toksin yang dilepaskannya dalam kulit. Timbul rash yang berupa lingkaran-lingkaran papel kecil-kecil yang berdiameter 1 – 3 mm. Kemudian timbul oedema kulit, kulit menebal dan terjadi likenifikasi. Kulit kehilangan elastisitasnya dan menimbulkan keadaan yang disebut hanging groin, yaitu kulit menggantung dalam lipatan-lipatan di bawah inguinal.

Diagnosis

Klinis: adanya nodul subkutan, ganging groin, kelainan kulit seperti kulit macan tutul (leopard skin), atrofi kulit, kelainan pada mata berupa keratitis, limbritis, uveitis dan adanya mikrofilaria dalam kornea.

Parasitologik: menemukan mikrofilaria atau cacing dewasa dalam benjolan subkutann. Diagnosis dibuat dengan menemukan mikrofilaria pada biopsi kulit yakni menyayat kulit (skin-snip) dengan pisau tajam atau pisau silet kira-kira 2 – 5 mm bujur sangkar. Sayatan kulit dijepit dengan dua buah kaca obyek kemudian dipulas dengan Giemsa. Untuk menemukan cacing dewasa dapat dilakukan dengan mengeluarkan benjolan (tumor), mikrofilaria dapat ditemukan juga dalam benjolan. Tes serologi sekarang sedang digalakkan untuk menunjang diagnosis onkoserkosis.

Ultrasonografi nodul: untuk menentukan beratnya infeksi (worm burden). Pelacak DNA : menggunakan teknik multiplikasi DNA (Polymerase Chain Reaction/PCR) dengan pelacak ONCHO-150 yang spesies spesifik.

Mazotti test : dengan memberikan 50 mg DEC, kemudian diobservasi selama 1 – 24 jam untuk mengetahui adanya reaksi berupa gatal, erupsi kulit, limfadenopati dan demam.

Pengobatan

Dietilkarbamasin tidak lagi dipakai mengingat efek sampingnya yang berat. Obat yang dipakai adalah Invermektin baik untuk pengobatan masal maupun selektif.

  1. Invermektin merupakan obat pilihan dengan dosis 150 ug/kg berat badan, diberikan satu atau dua kali per tahun pada pengobatan masal. Untuk pengobatan individu, dapat diberikan pada dosis 100 – 150 ug/kg berat badan dan diulang setiap 2 minggu, bulan atau 3 bulan hingga mencapai dosis total 1,8 mg/kg berat badan. Obat ini tidak diberikan kepada anak-anak dibawah 5 tahun atau beratnya kurang dari 15 kg, ibu hamil, menyusui atau orang dengan sakit berat. Ivermectin (Mectizan) mempunyai efek yang kuat dalam membunuh mikrofilaria. Efek samping (mirip dengan Mazotti reaction pada pemberian DEC), jarang terjadi dan jauh lebih ringan berupa : gatal-, erupsi kulit, nyeri otot tulang, edema tungkai dan wajah, demam, pembesaran kelenjar disertai nyeri. Efek samping dapat diatasi dengan anelgestik dan kortikosteroid. Pada pemberian selanjutnya efek samping semakin berkurang. Ivermectin mmmempunyai efek yang kuat dalam membunuh mikrofilaria tapi tidak terhadap cacing dewasa.
  2. Suramin merupakan satu-satunya obat yang membunuh cacing dewasa O.volvulus tetapi jarang dipakai mengingat cara pemberiannya yang relatif sulit dan toktisitasnya tinggi.

Penggunaan hanya :

  1. Untuk pengobatann kuratif yang selektif di daerah yang tak ada transmisi atau pada orang yang meninggalkan daerah endemik O.volvulus.
  2. Pada kasus-kasus onkodermatitis hiperreaktif dan berat dimana gejala-gejala tak dapat dikendalikan dengan ivermectin dosis berulang.

Prognosis

Prognosis baik bila tidak terjadi kerusakan mata.

Epidemiologi

Tempat perindukan vektor (Simulium) terdapat di daerah pegunungan yang mempunyai air sungai yang deras. Lalat ini suka menggigit manusia di sekitar sungai tempat perindukannya. Penyakit ditemukan baik pada orang dewasa maupun pada anak. Infeksi yang menahun seringkali diakhiri dengan kebutaan. Kebutaan terjadi pada penduduk yang berdekatan dengan sungai, makin jauh dari sungai kebuataan makin kurang dan oleh karena itu penyakit ini dikenal dengan river blindness.

Pencegahan dilakukan dengan menghidari gigitan lalat Simulium atau memakai pakaian tebal yang menutupi seluruh tubuh.

Daftar Pustaka

Wolrd Health Organization (WHO), 1987. Control of lymphatic filariasis : A manual.

 

WHO (1992). Lymphatic filariasis : The disease and its control. Fifth Report of the WHO Expert Committee on Filariasis.

 

Williams SA, et al. A polymerase chain reaction assay for the detection of Wuchereria bancrofti in blood samples from French Polynesia. Trans R Soc Trop Med Hyg, 1996: 9087 – 9.

 

Freedmann DO, et al. Lymphoscintigraphic analysis of lymphatic abnormalities in symptomatic and asimptomatic human filariasis.J Infect Dis, 1994; 170:927 – 33.

 

Weil GJ, et al. A monoclonal antibody-based enzyme immunoassay for detecting parasite antigenemia in bancroftian filariasis.J Infect Dis, 1994;170:927-33.

 

WHO (1994). Lymphatic filariasis infection and disease : Control strategies, TDR/CTD/FIL/Penang/94.

 

More SJ and Copeman DB. A highly spesific and sensitive monoclonal antibody based ELISA for the detection of circulating antigen in bancroftion filariasis. Trop Med Parasitol, 1990;41:403-6.

 

Bundy DAP  Grenfell BT Rajagopalan PK. Immuno-epidemiologi of lymphatic filariasis: The relationship between infection and disease. Immunoparasitol Today, 1991:A71-A75.

 

Partono F, Maizels RM and Purnomo. Towards a filariasis-free community:Evaluation of filariasis control over an eleven year period in flores, Indonesia. Trans R Soc Trop Med Hyg, 1989;83:821-26

 

WHO (1995. Onchocerciasis and its control: Report of a WHO expert committee on onchocerciasis control.

 

Weil GJ, Lammie PJ, Weiss N. The ICT filariasis test: a rapid-format antigen test for diagnosis of bancrofti filariasis. Parasitol Today, 1997;13:401-4

 

Dreyer G, Amaral F, Noroes J, Medeiros Z, Addis D. A new tool to assess the adulticial efficacy in vivo of anti filarial drugs for bancroftian filariasis. Trans R Soc Trop Med Hyg, 1995;89:225-8.

Craig, Faust. Clinical Parasitology, 8th ed.Lea and Febiger, Philadelphia, 1971.

 

Katz M, Despommier DD, Gwadz R. Parasitic Diseases. Springer-Verlag New York, USA, 1982.

 

 


 

TREMATODA

(cacing daun)

 

 

Cacing daun adalah cacing yang termasuk kelas TREMATODA filum PLATHYHELMINTHES dan hidup sebagai parasit.

Pada umumnya cacing ini bersifat hemafrodit cacing Schistosoma, mempunyai batil isap mulut dan batil isap perut (asetabulum). Spesies yang merupakan parasit pada manusia termasuk subkelas DIGENEA, yang hisup sebagai endoparasit.

Berbagai macam hewan dapat berperan sebagai hospes definitif cacing trematoda, antara lain: kucing, anjing, kambing, sapi, tikus, burung, luak, harimau, dan manusia.

Menurut tempat hidup dewasa dalam tubuh hospes, maka trematoda dapat dibagi dalam :

  1. Trematoda hati (liver flukes): Clonorchis sinensis, Opisthorchis felineus, Opisthorchis viverrini dan Fasciola.
  2. Trematoda usus (intestinal flukes): fasciolopsis buski, ECHINOSTOMATIDAE dan HETEROPHYLIDEA.
  3. Trematoda paru (lung flukes) : paragonimus westermani.
  4. Trematoda darah (blood flukes): Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni dan Schistosoma haematobium.

Distribusi Geografik

Pada umumnya cacing trematoda ditemukan di RRC, Korea, Jepang, Filipina, Thailand, Vietnam, Taiwan, India, dan Afrika. Beberapa spesies ditemukan di Indonesia seperti fasciolopsis buski di Kalimantan, Echinostoma di Jawa dan Sulawesi, HETEROPHYDAE di Jakarta dan Schistosoma javanicum di Sulawesi Tengah.

Morfologi dan Daur Hidup

Pada umumnya bentuk badan cacing dewasa pipih dorsoventral dan simetris bilateral, tidak mempunyai rongga badan. Ukuran panjang cacing dewasa sangat beranekaragam dari 1 mm sampai kurang lebih 75 mm. Tanda khas lainnya adalah terdapatnya 2 buat butil isap genital. Saluran pencernaan enyerupai huruf Y terbalik yang dimulai dengan mulut dan berakhir buntu pada sekum. Pada umumnya Trematoda tidak mempunyai alat pernapasan khusus, karena hidupnya secara anaerob. Saluran ekskresi terdapat simetris bilateral dan berakhir di bagian posterior. Susunan saraf dimulai dengan ganglion di bagian ventral dan lateral badan. Cacing ini bersifat hermafrodit dengan alat reproduksi yang kompleks.

Cacing dewasa hidup di dalam tubuh definitif. Telur diletakkan di saluran hati, rongga usus, paru,pembuluh darah atau di jaringan tempat cacing hidup dan telur biasanya keluar besama tinja, dahak atau urin. Pada umumnya telur berisi sel telur, hanya pada beberapa spesies telur sudah mengandung mirasidium (M) yang mempunyai bulu getar. Di dalam air telur menetas bila sudah mengandung mirasidium (telur matang). Pada spesies trematoda yang mengeluarkan telur berisi sel telur, telur akan menjadi matang dalam waktu kurang lebih 2 – 3 minggu. Pada beberapa spesies Trematoda, telur matang menetas bila ditelan keong (hospes perantara) dan keluarlah mirasidium yang masuk ke dalam jaringan keong; atau telur dapat langsung menetas dan mirasidium berenang di air; dalam waktu 2 jam mirasidium harus sudah menemukan keong air agar dapat melanjutkan perkembangannya. Keong air disini berfungsi sebagai hospes perantara pertama (HP I). Dalam keong air tersebut mirasidium berkembang menjadi sebuah kantung yang berisi embrio, disebut sporokista (S). Sporokista ini dapat mengandung sporokista lain atau redia (R); bentuknya berupa kantung yang sudah mempunyai mulut, faring dan sekum. Di dalam sporokista II atau redia (R), larva berkembang menjadi serkaria (SK).

Perkembangan larva dalam hospes perantara I mungkin terjadi sebagai berikut :

M → S → R → SK                : misalnya Clonorchis sinensis

M → S1→ S2  → SK           : misalnya Schistosoma

M → S →R1 → R2 → SK   : misalnya trematoda lainnya

Serkaria kemudian keluar dari keong air dan mencari hospes perantara II yang berupa ikan, tumbuh-tumbuhan air, ketam, udang batu dan keong air lainnya, atau dapat menginfeksi  hospes definitif secara langsung seperti pada Schistosoma. Dalam hospes perantara II serkaria berubah menjadi metaserkaria perantara II serkaria berubah menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. Hospes definitif mendapat infeksi bila makan hospes perantara II yang mengandung metaserkaria yang tidak dimasak dengan baik. Infeksi cacing Schistosoma terjadi dengan cara serkaria menembus kulit hospes definitif, yang kemudian berubah menjadi skistosomula, lalu berkembang menjadi cacing dewasa dalam tubuh hospes.

Patologi dan Gejala Klinis

Kelainan yang disebabkan cacing daun tergantung dari lokasi cacing di dalam tubuh hospes; selain itu juga ada pengaruh rangsangan setmpat dan zat toksin yang dikeluarkan oleh cacing. Reaksi sistemik terjadi karena absorpsi zat toksin tersebut, sehingga menghasilkan gejala alergi, demam, sakit kepala dan lain-lain. Cacing lain. Cacing daun yang hidup di rongga usus biasanya tidak memberi gejala atau hanya gejala gastrointestinal ringan seperti mual, muntah, sakit perut dan diare. Bila cacing hidup di jaringan paru seperti paragonimus, mungkin menimbulkan gejala batuk, sesak napas dan mungkin terjadi batuk darah (hemoptisis). Cacing yang hidup di saluran empedu hati seperti Clonorchis, Opisthorchis dan fasciola dapat menimbulkan rangsangan dan menyebabkan peradangan saluran empedu, dapat menyebabkan penyumbatan aliran empedu sehingga menimbulkan gejala ikterus. Akibat lainnya adalah peradangan hati sehingga terjadi hematomegali. Bila ini terjadi berlarut-larut, dapat mengakibatkan sirosis hati. Cacing Schistosoma yang hidup di pembuluh darah, ternyata terutama telurnya menimbulkan kelainan yang berupa peradangan, pseudo-abses dan akhirnya terjadi fibrosis jaringan alat yang diinfiltrasi oleh telur cacing ini, seperti dinding usus, dinding kandung kemih, hati, jantung, otak dan alat lain.

Diagnosis

Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam tinja, dahak,urin atau dalam jaringan biopsi, dapat pula dengan reaksi serologi untuk membantu menegakkan diagnosis.

Pengobatan

Obat yang terbaik untuk pencegahan cacing daun adalah prazikuantel (Biltricide, Distocide).

Prognosis

Pada umumnya bila penyakit belum mencapai stadium lanjut dengan fibrosis alat vital seperti hati, jantung, dan lain-lain, prognosis adalah baik bila diberi pengobatan dini.

Epidemiologi

Kebiasaan memakan hospes perantara II yang mengandung metaserkaria yang tidak dimasak dengan baik merupakan faktor penting demi transmisi penyakit; kecuali pada skistosomiasis yang infeksinya terjadi karena manusia mandi, mencuci atau masuk ke dalam air seperti kali atau parit yang mengandung serkaria.

 

TREMATODA HATI

Clonorchis sinensis

Sejarah

Cacing ini pertama kali ditemukan oleh Mc Connell tahun 187 di saluran empedu pada seorang Cina di Kalkuta.

Hospes dan Nama Penyakit

Manusia, kucing, anjing, beruang kutub dan babi merupakan hospes parasit ini. Penyakit yang disebabkannya disebut klonorkiasis.

Distribusi Geografik

Cacing ini ditemukan di Cina, Jepang, Korea dan vietnam. Penyakit yang ditemukan di Indonesia bukan infeksi autokton.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa hidup di saluran empedu, kadang-kadang juga ditemukan di saluran pankreas. Ukuran cacing dewasa 10 – 25 mm x 3 – 5 mm, bentuknya pipih, lonjong, menyerupai daun. Telur berukuran kira-kira 30 – 16 mikron, bentuknya seperti bola lampu pijar dan berisi mirasidium, ditemukan dalam saluran empedu.

Telur dikeluarkan dengan tinja. Telur menetas bila dimakan keoang air (Bilinus, Semisulcospira).

Dalam keong air, mirasidium berkembang menjadi sporokista, redia lalu serkaria. Serkaria keluar dari keong air dan mencari hospes perantara II, yaitu ikan (famili CYPRINIDAE). Setelah menembus masuk ke tubuh ikan serkaria melepaskan ekornya dan membentuk kista di dalam kulit di bawah sisik. Kista ini disebut metaserkaria.

Perkembangan larva dalam keong air adalah sebagai berikut :

M → S → R → K

Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria yang dimasak kurang matang. Ekskistasi terjadi di duodenum. Kemudian larva masuk di ductus koledokus, lalu menuju ke saluran empedu yang lebioh kecil dan menjadi dewasa dalam waktu sebulan. Seluruh daur hidup berlangsung selama tiga bulan.

Patologi dan Gejala Klinis

Sejak larva masuk di saluran empedu sampai menjadi dewasa, parasit ni dapat menyebabkan iritasi pada saluran dan penebalan dinding saluran. Selain itu dapat terjadi perubahan jaringan hati yang berupa radang sel hati. Pada keadaan lebih lanjut da[at timbul sirosis hati disertai asites dan edema.

Di Luasnya organ yang mengalami kerusakan bergantung pada jumlah cacing yang terdapat di saluran empedu dan lamanya infeksi.

Gejala dapat dibagi menjadi 3 stadium. Pada stadium ringan tidak ditemukan gejala. Stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan, perut rasa penuh, diare, edema dan pembesaran hati. Pada stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal yang terdiri dari pembesaran hati, ikterus, asites, edema, sirosis hepatis. Kadang-kadang dapat menimbulkan keganasan dalam hati.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur yang berbentuk khas dalam tinja atau dalam cairan duodenum.

Pengobatan

Penyakit ini dapat diobati dengan prazikuantel.

 

 

Epidemiologi

Kebiasaan makan ikan yang diolah kurang matang merupakan faktor penting dalam penyebaran penyakit. Selain itu cara pemeliharaan ikan dan cara pembuangan tinja di kolam ikan penting dalam penyebaran penyakit.

Kegiatan pemberantasan lebih ditujukan untuk mencegah infeksi pada manusia. Misalnya penyuluhan kesehatan agar orang makan ikan yang sudah dimasak dengan baik serta pemakaian jamban yang tidak mencemari air sungai. Tetapi hal ini agak lambat diterima oleh masyarakat desa.

 

Opistorchis felineus

Hospes dan Nama Penyakit

Kucing, anjing dan manusia merupakan hospes penyakit ini. Penyakit yang disebabkan parasit ini disebut opistorkiasis.

Penyebaran Geografik

Parasit ini ditemukan di Eropa Tengah, Selatan dan Timur, Asia, Vietnam dan India.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa hidup dalam saluran empedu dan saluran pankreas. Cacing dewasa berukuran 7 – 12 mm, mempunyai batil isap mulut dan batil isap perut. Bentuknya seperti lanset, pipih dorsoventral. Telur Opistorchis mirip telur C.sinensis

, hanya bentuknya lebih langsing.

Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria dan dimasak kurang matang.

Patologi dan Gejala Klinis

Kelainan yang ditimbulkan cacing ini sama dengan yang ditimbulkan C.sinensis.

Opistorchis viverrini

Daerah endemi ditemukan di Muangthai.

Morfologi dan daur hidup cacing ini mirip Opistorchis fenineus . Infeksi terjadi dengan makan ikan mentah yang mengandung metaserkaria.

Di daerah Muangthai timur laut ditemukan banyak penderita kolangiokarsinoma dan hepatoma pada penderita opistorkiasis. Hal ini juga diduga karena ada peradangan kronik saluran empedu dan selain itu berhubungan juga dengan cara pengawetan ikan yang menjadi hospes perantara O.iverrini.

 

Fasciola hepatica

Hospes dan Nama Penyakit

Hospes cacing ini adalah kambing dan sapi. Kadang-kadang parasit ini dapat ditemukan pada manusia.

Penyakit yang ditimbulkan disebut fasioliasis.

Penyebaran Geografik

Di Amerika Latin, Perancis dan negara-negara sekitar Laut Tengah banyak ditemukan kasus fasioliasis pada manusia.

Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya kira-kira 30 – 13 mm. Pada bagian anterior berbentuk seperti kerucut dan pada puncak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya kira-kira 1 mm, sedangkan pada bagian dasar kerucut terdapat batil isap perut yang besarnya kira-kira 1,6 mm. Saluran pencernaan bercabang-cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga bercabang-cabang.

Telur cacing ini berukuran 140 x 90 mikron, dikeluarkan melalui saluran empedu ke dalam tinja dalam keadaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air setelah 9 – 15 hari dan berisi merasidium. Telur kemudian menetas dan mirasidium keluar dan mencari keong air, dalam keong air terjadi perkembangan :

M → S → R1 → R2 → SK

Serkaria keluar dari keong air dan berenang mencari hospes perantara II, yaitu tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air dibentuk metaserkaria. Bila ditelan, metaserkaria menetas dalam lambung binatang yang memakan tumbuhan air tersebut dan larvanya masuk ke saluran empedu dan menjadi dewasa.

Infeksi terjadi dengan makan tumbuhan air yang mengandung metaserkaria.

Patologi dan Gejala Klinis

Migrasi cacing dewasa muda ke saluran empedu menimbulkan kerusakan parenkim hati. Saluran empedu mengalami peradangan, penebalan dan sumbatan, sehingga menimbulkan sirosis periportal.

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja, cairan duodenum atau cairan empedu. Reaksi serologi sangat membantu untuk menegakka diagnosis.

 

TREMATODA PARU

Paragonimus westermani

Hospes dan Nama Penyakit

Manusia dan binatang yang memakan ketam/udang batu, seperti kucing, luak, anjing, harimau, serigala dan lain-lain merupakan hospes cacing ini.

Pada manusia parasit ini menyebabkan paragonimiasis.  

Penyebaran Geografik

Cacing ini ditemukan di RRC, Taiwan, Korea, Jepang, filipina, Vietnam, Thailand, India, Malaysia, Afrika dan Amerika Latin. Di Indonesia ditemukan autokton pada binatang, sedangkan pada manusia hanya sebagai kasus impor saja.

Cacing dewasa hidup dalam kista di paru. Bentuknya bundar lonjong menyerupai biji kopi, dengan ukuran 8 – 12 x 4 – 6 mm dan berwarna coklat tua. Batil isap mulut hampir sama besar dengan batil isap perut. Testis berlobus terletak berdampingan antara batil isap perut dan ekor. Ovarium terletak di belakang batil isap perut. Telur berbentuk lonjong berukuran 80 – 118 mikron x 40 – 60 mikron dengan operkulum agak tertekan ke dalam. Waktu keluar bersama tinja atau sputum, telurnya belum berisi mirasidium.

Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 16 hari, lalu menetas. Mirasidium mencari keong air dan dalam keoang air terjadi perkembangan :

M → S → R1 → R2 → SK

Serkaria keluar dari keong air, berenang mecari hospes perantara Ii, yaitu ketam atau udang batu, lalu membentuk metaserkaria di dalam tubuhnya.

Infeksi terjadi dengan makan ketam atau udang batu yang tidak dimasak sampai matang.

Dalam hospes definitif, metaserkaria menjadi cacing dewasa mudadi duodenum. Cacing dewasa muda bermigrasi menembus dinding usus, masuk ke rongga perut, menembus diafragma dan menuju ke paru. Jaringan hospes mengadakan reaksi jaringan sehingga cacing dewasa terbungkus dalam kista, biasanya ditemukan 2 ekor di dalamnya.

Karena cacing dewasa berada dalam kista di paru, maka gejala dimulai dengan adanya batuk kering yang lama kelamaan menjadi batuk darah. Keadaan ini disebut endemic hemoptysis. Cacing dewasa dapat pula bermigrasi ke alat-alat lain dan menimbulkan abses pada alat tersebut (antara lain hati, limpa, otak, otot, dinding usus).

 

Diagnosis

Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam sputum atau cairan pleura. Kadang-kadang telur juga ditemukan dalam tinja. Reaksi serologi sangat membantu untuk menegakkan diagnosis.

Pengobatan

Prazikuantel dan bitionol merupakan obat pilihan.

Epidemiologi

Penyakit ini berhubungan erat dengan kebiasaan makan ketam yang tidak dimasak dengan baik. Penyuluhan kesehatan yang berhubungan erat dengan cara masak ketam dan pemakaian jamban yang tidak mencemari air sungai dan sawah dapat mengurangi transmisi paragonimiasis.

 

TREMATODA USUS

Trematoda usus yang berperan dalam ilmu kedokteran adalah dari keluarga FASCIOLIDAE, ECHINOSTOMATIDAE dan HETEROPHYIDAE. Dalam daur hidup trematoda usus tersebut, seperti pada trematoda lain, diperlukan keong sebagai hospes perantara I, tempat mirasidium tumbuh menjadi sporokista, berlanjut menjadi redia dan serkaria. Serkaria yang dibentuk dari redia, kemudian melepaskan diri untuk keluar dari tubuh keong dan berenang bebas dalam air. Tujuan akhir serkaria tersebut adalah hospes perantara II, yang dapat berupa keong jenis lain yang lebih besar, beberapa jenis ikan air tawar atau tumbuh-tumbuhan air.

Manusia mendapatkan penyakit cacing daun karena memakan hospes perantara II yang tidak dimasak sampai matang.

 

 

 

Keluarga FASCIOLIDAE

Cacing trematoda Fasciolopsis buski adalah suatu trematoda yang didapatkan pada manusia atau hewan. Trematoda tersebut mempunyai ukuran tersebar di antara trematoda lain yang ditemukan pada manusia.

Cacing ini pertama kali ditemukan oleh Busk (1843) pada autopsi seorang pelaut yang meninggal di London.

Hospes dan Nama Penyakit

Kecuali manusia dan babi yang dapat menjadi hospes definitif cacing tersebut, hewan lain seperti anjing dan kelinci juga dapat dihinggapi. Penyakit yang disebabkan cacing ini disebut fasiolopsiasis.

Distribusi Geografik

Fasciolopsis buski adalah cacing trematoda yang sering ditemukan pada manusia dan babi di RRC. Cacing ini juga dilaporkan dari berbagai negara seperti Taiwan, Vietnam, Thailand, India dan Indonesia.

Cacing dewasa yang ditemukan pada manusia mempunyai ukuran panjang 2 – 7,5 cm dan lebar 0,8 – 2,0 cmm. Bentuknya agak lonjong dan tebal. Biasanya kutikulum ditutupi duri-duri kecil yang letaknya melintang. Duri-duri tersebut sering rusak karena cairan usus. Batil isap kepala berukuran kira-kira seperempat ukuran batil isap perut. Saluran pencernaan terdiri dari prefaring yang pendek, faring yang menggelembung, esofagus yang pendek, serta sepasang sekum yang tidak bercabang dengan dua indentasi yang khas. Dua buah testis yang bercabang-cabang letaknya agak tandem di bagian posterior dari cacing. Vitelaria letaknya lebih lateral dari sekum, meliputi badan cacing setinggi batil isap perut sampai ke ujung badan. Ovarium bentuknya agak . Uterus berpangkal pada ootip, berkelok-kelok ke arah anterior badan cacing, untuk bermuara pada atrium genital, pada sisi anterior batil isap perut.

Telur berbentuk agak lonjong, berdinding tipis transparan, dengan sebuah operkulum yang nyaris terlihat pada sebuah kutubnya, berukuran panjang 130 – 10 mikron dan lebar 80 – 85 mikron. Setiap ekor cacing dapat mengeluarkan 15.000 – 48.000 butir telur sehari. Telur-telur tersebut dalam air bersuhu 27° – 32 °C, menetas setelah 3 sampai 7 minggu. Mirasidium yang bersilia keluar dari telur yang menetas, berenang bebas dalam air untuk masuk ke dalam tubuh hospes perantara I yang sesuai. Biasanya hospes perantara I tersebut adalah keong air tawar, seperti genus Segmentina, Hippeutis  dan Gyraulus. Dalam keong, mirasidium tumbuh menjadi sporokista yang kemudian berpindah ke daerah jantung dan hati keong. Bila sporokista matang, menjadi koyak dan melepaskan banyak redia induk. Dalam redia induk dibentuk banyak redia anak, yang pada gilirannya membentuk serkaria.

Serkaria, seperti mirasidium, dapat berenang bebas dalam air, berbentuk seperti kecebong, ekornya lurus dan meruncing pada ujungnya, berukuran kira-kira 500 mikron dengan badan agak bulat berukuran 195 mikron x 145 mikron. Badan serkaria ini mirip cacing dewasa yaitu mempunyai batil isap kepala dan batil isap perut. Mirasidium atau serkaria yang dalam batas waktu tertentu belum menemukan hospes, akan punah sendiri. Serkaria dapat berenang dengan ekornya, atau merayap dengan menggunakan batil isap. Serkaria tidak menunjukkan kecenderungan memilih tumbuh-tumbuhan tertentu untuk tumbuh menjadi metaserkaria yang berbenruk kista. Tumbuh-tumbuhan yang banyak dihinggapi metaserkaria adalah Trapa, Eliocharis, dan Zizania. Laporan peneliti-peneliti lain menyatakan bahwa tumbuh-tumbuhan seperti Nymphoea lotus dan Ipomoea juga dihinggapi metaserkaria. Bila seorang memakan tumbuh-tumbuhan air yang mengandung metaserkaria tanpa dimasak sampai matang, maka dalam waktu 25 sampai 30 hari metaserkaria tumbuh menjadi cacing dewasa dan dalam waktu 3 bulan ditemukan telur-telurnya dalam tinja.

Patologi dan Gejala Klinis

Cacing dewasa Fasciolopsis buski, melekat dengan perantaraan batil isap perutnya pada mukosa usus muda seperti duodenum dan yeyunum. Cacing ini memakan isi usus, maupun permukaan mukosa usus. Pada tempat perlekatan cacing tersebut, terdapat, tukak (usus), maupun abses. Apabila terjadi erosi kapiler pada tempat tersebut, maka timbul perdarahan. Cacing dalam jumlah besar dapat menyebabkan sumbatan yang menimbulkan gejala ileus akut.  Pada infeksi berat, gejala intoksikasi dan sentisitasi oleh karena metabolit cacing lebih menonjol, seperti edema pada muka, dinding perut dan tungkai bawah. Kematian dapat terjadi karena keadaan merana (exhaustion) atau intoksikasi.

Gejala klinis yang dini pada akhir masa inkubasi, adalah diare dan nyeri ulu hati (epigastrium). Diare yang mulanya diselingi konstipasi, kemudian menjadi persisten. Warna tinja menjadi hijau kuning, berbau busuk dan berisi makanan yang tidak dicerna. Pada beberapa pasien, nafsu makan cukup baik atau berlebihan, walaupun ada yang mengalami gejala mual, muntah, atau tidak mempunyai selera; semua ini tergantung dari berat ringannya penyakit.

Diagnosis

Sering gejala klinis seperti diatas bila didapatkan di suatu daerah endemi, cukup untuk menunjukkan adanya penderita fasiolopsiasis; namun diagnosis pasti adalah dengan menemukan telur dalam tinja.

Morfologi telur Fasciolopsis buski hendaknya dapat dibedakan dari telur cacing Fasciola hepatica, Gastrodiscoides hominis atau Echinochamus perfoliatus.

Pengobatan

Obat yang efektif untuk cacing ini, adalah diklorofen, niklosamid, dan prazikuantel.

Prognosis

Penyakit fasiolopsiasis yang berat mungkin menyebabkan kematian, akan tetapi bila dilakukan pengobatan sedini mungkin, masih dapat memberi harapan untuk sembuh. Masalah yang penting adalah reinfeksi, yang sering terjadi pada penderita.

Infeksi pada manusia tergantung dari kebiasaan makan tumbuh-tumbuhan air yang mentah dan tidak dimasak sampai matang. Membudidayakan tumbuh-tumbuhan air di daerah yang tercemar dengan kotoran manusia maupun babi, dapat menyebarluaskan penyakit tersebut. Kebiasaan mengenai defekasi, pembuangan kotoran ternak dan cara membudidayakan tumbuh-tumbuhan air untuk konsumsi harus diubah atau diperbaiki, untuk mencegah meluasnya penyakit fasiolopsiasis.

Fasiolopsiasis adalah endemik di desa Sei Papuyu, Kalimantan Selatan. Prevalensinya adalah 27,0%. Prevalensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 5 – 14 tahun, yaitu 56,8%, sedangkan prevalensi pada anak sekolah adalah 79,1%. Survei 12 bulan setelah pengobatan menunjukkan prevalensi yang tidak banyak berbeda, karena kemungkinan terjadinya reinfeksi.

 

 

Keluarga ECHINOSTOMATIDAE

Sejarah

Cacing genus Echinostoma yang ditemukan pada manusia kira-kira 11 spesies atau lebih.

Garrison (1907) adalah sarjana yang pertama kali menemukan telur Echinostoma ilocanum pada narapidana pribumi di Filipina. Tubangui (1931), menemukan bahwa Ratus rattus norvegicus, merupakan hospes reseroar cacing RRC, dihinggapi cacing tersebut. Brug dan Tesch (1937), melaporkan spesies Echinostoma lindoense pada manusia di Sulawesi Tengah, Bonne, Bras dan Lie Kian Joe (1948), menemukan Echinostoma ilocanum pada penderita sakit jiwa di Jawa.

Berbagai sarjana telah melaporkan, bahwa di Indonesia ditemukan lima spesies cacing Echinostoma, yaitu : Echinostoma ilocanum, Echinostoma malayanum, Echinostoma lindoense, Echinostoma recurvatum dan Echinostoma revolutum.   

Hospes dan Nama Penyakit

Hospes cacing keluarga ECHINOSTOMATIDAE sangat beraneka ragam yaitu manusia, tikus, anjing, burung, ikan dan lain-lain (poliksen). Nama penyakitnya disebut ekinostomiasis.

Distribusi Geografik

Cacing tersebut kecuali ditemukan di Filipina, Cina dan Indonesia juga dilaporkan dari India.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing trematoda dari keluarga ECHINOSTOMATIDAE, dapat dibedakan dari cacing trematoda lain, dengan adanya ciri-ciri khas berupa duri-duri leher dengan jumlah antara 37 buah sampai kira-kira 51 buah, letaknya dalam dua baris berupa tapal kuda, melingkari bagian belakang serta samping batil isao kepala. Cacing tersebut berbentuk lonjong, berukuran panjang dari 2,5 m hingga 13 – 15 mm dari lebar 0,4 – 0,7 mm hingga 2,5 – 3,5 mm.

Testis berbentuk agak bulat, berlekuk-lekuk, letaknya bersusun tandem pada bagian posterior cacing. Vitelaria letaknya setelah lateral, meliputi 2/3 badan cacing dan melanjut hingga bagian posterior. Cacing dewasa hidup di usus halus, mempunyai warna agak merah ke abu-abuan. Telur mempunyai operkulum, besarnya berkisar antara 103 – 137 x 59 – 75 mikron. Telur setelah 3 minggu dalam air, berisi termpayak yang disebut mirasidium. Bila telur menetas, mirasidium keluar dan berenang bebas untuk hinggap pada hospes perantara I yang berupa keong jenis kecil seperti genus Anisus,Gyraulus,Lymnaea dan sebagainya.

Dalam hospes perantara I, mirasidium tumbuh menjadi sporokista kemudian melanjut menjadi redia induk, redia anak yang kemudian membentuk serkaria. Serkaria yang pada suatu saat berjumlah banyak, dilepaskan ke dalam air oleh redia yang berada dalam keong. Serkaria ini kemudian hinggap pada hospes perantara II untuk menjadi metaserkaria yang efektif. Hospes perantara II adalah jenis keong yang besar, seperti genus Vivipar/Bellamya, Pila atau Corbicula.

Ukuran besar cacing, jumlah duri-duri sirkumoral, bentuk testis, ukuran telur dan jenis hospes perantara, digunakan untuk mengidentifikasi spesies cacing.

Patologi dan Gejala Klinis

Biasanya cacing Echinostoma menyebabkan kerusakan ringan pada mukosa usus dan tidak menimbulkan gejala yag berarti. Infeksi berat menyebabkan timbulnya radang kataral pada dinding usus, atau ulserasi. Pada anak dapat menimbulkan gejala diare, sakit perut, anemia dan sembab (edema).

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja.

Pengobatan

Tetrakloroetilen adalah obat yang dianjurkan, akan tetapi penggunaan obat-obat baru yang lebi aman, seperti prazikuantel dapat dipertimbangkan.

Prognosis

Penderita biasanya tidak menunjukkan gejala yang berat, dapat sembuh setelah pengobatan.  

Epidemiologi

Keong sawah yang digunakan untuk konsumsi sebaiknya dimasak sampai matang, sebab bila tidak, metaserkaria dapat hidup dan tumbuh menjadi cacing dewasa.

 

 

Keluarga HETEROPHYIDAE

Sejarah

Cacing keluarga Heterophyidae adalah cacing trematoda kerdil, berukuran sangat kecil, hanya kurang lebih beberapa millimeter.

Cacing ini pertama kali ditemukan oleh Bilharz (1851) pada autopsi seorang Mesir di Kairo.

Hospes dan Nama Penyakit

Hospes cacing ini sangat banyak, umumnya makhluk pemakan ikan seperti manusia, kucing, anjing, rubah, dan jenis burung-burung tertentu.

Nama penyakitnya adalah heterofiiasis.

Distribusi Geografik  

Cacing ini ditemukan di mesir, Turki, Jepang, Korea, RRC, Taiwan, Filipina dan Indonesia.

Cacing dari keluarga Heterophyidae adalah : Heterophyes heterophyes, Metagonimus yokogawai dan Haplorchis yokogawai.

Di Indonesia, Lie Kian Joe (1951) menemukan cacing Haplorchis yokogawai pada autopsi 3 orang mayat.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dari keluarga HETEROPHYIDAE berukuran panjang antara 1 – 1,7 mm dan lebar antara 0,3 – 0,75 mm, kecuali genus Haplorchis yang jauh lebih kecil, yaitu panjang 0,41 – 0,51 mm dan lebar 0,24 – 0,3 mm. Di samping batil isap perut, ciri-ciri khas yang lain adalah, batil isap kelamin yang terdapat di sebelah kiri belakang.

Cacing ini mempunyai 2 buah testis yang lonjong, ovarium kecil yang agak bulat dan 1 buah folikel vitelin yang letaknya sebelah lateral. Bentuk uterus sangat berkelok-kelok, letaknya diantara kedua sekum. Telur berwarna agak coklat muda, mempunyai operkulum, berukuran 26,5 – 30 x 15 – 17 mikron, berisi mirasidium. Mirasidium yang keluar dari telur, menghinggapi keong air tawar/payau, seperti genus Pirenella, Cerithidia, Semisulcospira, sebagai hospes perantara I dan ikan dari genus Mugil, Tilapia, Aphanius, Acanthogobius, Clarias dan lain-lain sebagai hospes perantara II. Dalam keong, mirasidium tumbuh menjadi sporokista, kemudian menjadi banyak redia induk, berlanjut menjadi banyak redia anak untuk pada gilirannya membentuk banyak serkaria. Serkaria ini mengghinggapi jenis ikan-ikan tersebut di atas dan masuk ke dalam otot-ototnya untuk tumbuh menjadi metaserkaria.

Manusia  mendapatkan infeksi karena makan daging ikan mentah, atau yang dimasak kurang matang. Pada ikan genus Plectoglossus dan sejenisnya, metaserkaria tidak masuk ke dalam otot, akan tetapi hinggap di sisik dan siripnya.

Metaserkaria yang turut dimakan dengan daging ikan mentah, tumbuh menjadi cacing dewasa dalam 14 hari dan bertelur.

Patologi dan Gejala Klinis

Pada infeksi cacing keluarga HETEROPHYIDAE, biasanya stadium dewasa menyebabkan iritasi ringan pada usus muda, tetapi ada beberapa ekor cacing yang mungkin dapat menembus vilus usus. Telurnya dapat menembus masuk aliran getah bening dan menyangkut di katup-katup atau otot jantung dan mengakibatkan payah jantung. Kelainan ini terutama dilaporkan pada infeksi cacing Megatonimus dan Haplorchis yokogawai. Telur atau cacing dewasa dapat bersarang di jaringan otak dan menyebabkan kelainan disertai gejala-gejalanya. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi berat cacing tersebut adalah mulas-mulas atau kolik dan diare dengan lendir, serta nyeri tekan pada perut.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja.

Pengobatan

Obat yang tepat untuk penyakit cacing ini, adalah pirazikuantel. Obat yang dapat dianjurkan adalah tetrakloroetilen.

Epidemiologi

Manusia, terutama pedagang ikan dan hwan lain seperti kucing, anjing dapat merupakan sumber infeksi bila menderita penyakit cacing tersebut, melalui tinjanya. Telur cacing dalam tinja dapat mencemari air serta ikan yang hidupo di dalamnya. Hospes definitif mendapatkan infeksi karena memakan daging ikan mentah yang mengandung metaserkaria hidup. Ikan yang diproses kurang sempurna untuk konsumsi, seperti fessikh, dapat juga menyebabkan infeksi. Sebagai usaha untuk mencegah meluasnya infeksi cacing HETEROPHYIDAE, kebiasaan memakan daging ikan mentah harus diubah.

 

 

TREMATODA DARAH

Shistosoma atau Bilharzia

Pada manusia ditemukan 3 spesies penting : Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni, dan Schistosoma haematobium.

Selain spesies yang ditemukan pada manusia, masih banyak spesies yang hidup pada bianatang dan kadang-kadang dapat menghinggapi manusia.

Hospes dan Nama Penyakit

Hospes definitif adalah manusia. Berbagai macam binatang dapat berperan sebagai hospes reservoar.

Pada manusia, cacing ini menyebabkan penyakit skistomiasis atau bilharziasis.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewaasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman, berukuran 9,5 – 19,5 mm x 0,9 mm. Badannya berbentuk gemuk bundar dan pada kutikulumnya terdapat benjolan halus sampai kasar, tergantung spesisesnya. Di bagian ventral badan terdapat canalis gynaecophorus , tempat cacing betina, sehingga tampak seolah-olah cacing betina ada di dalam pelukan cacing jantan. Cacing betina badannya lebih halus dan panjang, berukuran 16,0 – 26,0 mm x 0,3 mm. Pada umumnya uterus berisi 50 – 300 butir telur. Cacing trematoda ini hidup di pembuluh darah terutama dalam kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan selaput lendir usus atau kandung kemih.

Cacing betina meletakkan telur di pembuuluh darah. Telur tidak mempunyai operkulum. Telur cacing Schistosoma mempunyai duri dan lokalisasi dari tergantung pada spesiesnya. Telur berukuran 95 – 135 x 50 – 60 mikron. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kemih untuk kemudian ditemukan di dalam tinja atau urin. Telur menetas di dalam air, larva yang keluar disebut mirasidium.

Cacing ini hanya mempunyai satu macam hospes perantara yaitu keong air, tidak tterdapat hospes perantara kedua. Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong air dan berkembang menjadi sporokista I dan sporookista II dan kemudian menghasilkan serkaria yang banyak. Serkaria adalah bentuk infektif cacing Schistosoma. Cara infeksi pada manusia adalah serkaria menembus kulit pada waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan untuk infeksi adalah 5 – 10 menit. Setelah serkaria menembus kulit, larva ini kemudian masuk ke dalam kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan, lalu paru dan kembali ke jantung kiri; kemudian masuk ke sistem peredaran darah besar, ke cabang-cabbang vena portae dan menjadi dewasa di hati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena portae dan vena usus atau vena kandung kemih dan kemudiann cacing betina bertelur setelah berkopulasi.

 

 

Daur Hidup Cacing Schistosoma

Telur menetas dalam air

 (Cacing dewasa hidup di dalam pembuluh darah

MIRASIDIUM   

SERKARIA

keluar dari keong air, berenang aktif di dalam air   

SKISTOSOMULA

Serkaria menembus kulit manusia atau hewan 

Mirasidium berenang aktif dalam air, mencari keong hospes perantara 

Keong air

mirasidium berkembang menjadi SPOROKISTA I dan membentuk banyak SPOROKISTA II. Sporokista II membentuk banyak serkaria  

Mirasidium menembus masuk tubuh keong

TELUR berisi embrio menembus keluar dinding pembuluh darah, masuk ke rongga usus/kandung kemih keluar dengan tinja/urin

 

Masuk kedalam air 

Manusia

 

Hewan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Patologi dan Gejala Klinis

Perubahan-perubahan yang terjadi disebabkan oleh 3 stadium cacing ini, yaitu serkaria, cacing dewasa dan telur.

Perubahan-perubahan pada skistomiasis dapat dibagi dalam 3 stadium :

  1. 1.    Masa tunas biologik

Gejala kulit dan alergi  

Waktu antara serkaria menembus kulit sampai menjadi dewasa disebut masa tunas biologik. Perubahan kulit yang timbul berupa eritema dan papula yang disertai perasaan gatal dan panas. Bila banyak jumlah serkaria menembus kulit, makka akan terjadi dermatitis. Biasanya kelainan kulit hilang dalam waktu dua atau tiga hari.

Selanjutnya dapat terjadi reaksi alergi yang dapat timbul oleh karena adanya hasil metabolik skistosomula atau cacing dewasa, atau dari protein asing yang disebabkan adanya cacing yang mati. Manifestasi klinisnya dapat berupa urtikaria atau edema angioneutrik dan dapat disertai demam. Kira-kira 22% penderita menunjukkan urtikaria dan 18% menunjukkan edema angioneuretik kira-kira 10 hari setelah timbul demam.

Gejala Paru

Gejala batuk sering ditemukan, kadang-kadang disertai dengan pengeluaran dahak yang produktif dan pada beberapa kasus bercampur dengan sedikit darah. Pada kasus yang rentan gejala dapat menjadi berat sekali sehingga timbul serangan asma.

Gejala Toksemia

Manisfestasi akut atauu toksik mulai timbul antara minggu ke 2 sampai minggu ke 8 setelah terjadi infeksi. Berat gejala tergantung dari dahaknya serkaria yang masuk. Pada infeksi berat jika terdapat banyak serkaria yang masuk, terutama infeksi yang berulang, maka dapat timbul gejala toksemia yang berat disertai demam tinggi.

Pada stadium ini dapat timbul gejala lain seperti : lemah, malaise, tidak nafsu makan, mual dan muntah, sakit kepala dan nyeri tubuh. Diare disebabkan oleh keadaan hipersensitif terhadap cacing. Pada kasus berat gejala tersebut dapat bertahan 3 bulan. Kadang-kadang terjadi sakit perut dan tenesmus. Hati dan limpa membesar dan nyeri pada peradaban.

  1. 2.    Stadium akut

Stadium ini dimulai sejak cacing betina bertelur. Telur yang diletakkan di dalam pembuluh darah dapat keluar dari pembuluh darah, masuk ke dalam menembus mukosa, biasanya mukosa usus. Efek patologis maupun gejala klinis yang disebabkan telur tergantung dari jumlah telur yang dikeluarkan, yang berhubungan langsung dengan jumlah cacing betina. Dengan demikian keluhan/gejala yang terjadi pada stadium ini adalah demam, malaise, berat badan menurun. Sindrom disentri biasanya ditemukan pada infeksi beeerat dan pada kasus yang ringan hanya ditemukan diare. Hepatomegali timbul lebih dini dan disusul dengan splenomegali; ini dapat terjadi dalam waktu 6 – 8 bulan setelah infeksi.

  1. 3.    Stadium Menahun

Pada stadium ini terjadi penyembuhan jaringan dengan pembentukan jaringan ikat atau fibrosis. Hepar yang semula membesar karena peradangan kemudian mengalami pengecilan karena terjadi fibrosis; hal ini disebut sirosis. Pada skistosomiasis, sirosis yang terjadi adalah sirosis periportal, yang mengakibatkan terjadinya hipertensi portal karena adanya bendungan di dalam jaringan hati. Gejala yang timbul adalah : splenomegali, edema yang biasanya ditemukan pada tungkai bawah, bisa pula pada alat kelamin. Dapat ditemukan asites dan ikterus. Pada stadium lanjut sekali dapat terjadi hematemesis yang disebabkan karena pecahnya varises pada esofagus.

Diagnosis

Diagnosis dibuat dengan menemukan telur damal tinja, urin atau jaringan biopsi. Reaksi serologi dapat membantu menegakkan diagnosis. 

Pengobatan

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa obat-obat anti Schistosoma tidak ada yang aman atau agak toksik dan semuanya mempunyai resiko masing-masing.

Seperti telah diketahui cacing dewasa hidup di dalam vena mesenterika manusia dan binatang. Pengaruh obat anti Schistosoma dapat menyebabkan terlepasnya pegangan cacing dewasa pada pembuluh darah dan mengakibatkan tersapunya cacing tersebut ke dalam hati oleh sirkulasi portal; keadaan ini disebut hepatic shift.

Ada beberapa obat yang mempengaruhi cacing dewasa ini menghambat sistem enzim tertentu, seperti persenyawaan antimon trivalen yang  menghambat istem ensim fosfofruktokinase S.mansoni, sehingga cacing tersebut tidak dapat memanfaatkan gilikogen.

Obat-obat anti Schistosoma Schistosoma yang telah dikenal adalah sebagai berikut :

  1. 1.    Emetin (Tartras emetikus)

Pada tahun 1918 Chistopherson mengobati penyakit kala azar yang tartras emetikus. Secara kebetulan obat ini ditemukan efektif terhadap infeksi S.haematobium bila diberikan secara intravena. Bonne (1919) melaporkan penyembuhan infeksi dengan Schistosoma mansoni pada penderita disentri ameba yang diobati dengan tatras emetikus (nama lain adalah antimon kalium tartrat).

Tartras emetikus atau antimon kalium tartrat dapt dikatakan sebagai obat schistosomisida yang cukup efektif, akan tetapi mempunyai efek samping yang agak berat, antara lain ialah mual, muntah, batuk, pusing, sakit kapala, nyeri pada tubuh, miokarditis yang tampak pada EKG, bradi atau takikardia, syok (shok) dan kadang-kadang mati mendadak.

Dalam tahun 1945, Alves dan Blair mengemukakan cara baru untuk memperoleh angka penyembuhan yang lebih tinggi, yaitu dengan mempergunakan persenyawaan antimon natrium tartrat. Dengan pengobatan ini, penyembuhan penderita skistosomiasis dapat dicapai dalam waktu 3 hari, tetapi pengobatan tersebut menimbulkan efek samping yang lebih berat.

  1. 2.    Fuadin Stibofen, Reprodal, Neo-antimosan (Antimoni-bispyroca-techin-disulfonic-Na Compound)

Obat ini pertama kali diperkenalkan di Mesir pada tahun 1929. Obat ini merupakan trivalent  antimony salt yang dapat disuntikkan secara intramuskular sebagai larutan 7%. Penyembuhan padat diharapkan pada pemakaian obat jangka waktu pendek. Cara pengobatan adalah sebagai berikut :

Hari Pertama      :            1,5 ml

Hari Kedua         :            3,5 ml

Hari Ketiga          :            5,0 ml dan selanjutnya 5,0 ml tiap hari sampai dicapai dosis total 80 ml. Untuk anak-anak dosis total adalah 1 ml.kg berat badan dan diberikan dalam 5 kali injeksi, tiap 2 hari/sekali.

Obat ini memberikan reaksi toksik yang cukup berat dan kematian pernah dilaporkan. Selain syok, efek samping lain adalah neuritis retrobulbar, skotoma sentralis dan buta warna. Sering pula dilaporkan efek samping seperti muntah-muntah, tidak nafsu makan, nyeri tubuh, sakit kepala, reaksi alergi, syok dananuria. Kematian pernah dilaporkan. Hasil penyembuhan adalah 40 – 70%.

  1. 3.    Astiban TW 56 (Stibocaptate atau antion-dimercaptosuccinate, garam Na dan K)

Obat ini diperkenalkan pada tahun 1954 oleh Friedheim dkk, dengan angka penyembuhan pada infeksi S.haematobium yang hampir mencapai 100%. Jordan dan Randall (1962) memperoleh hasil penyembuhan yang agak rendah pada pengobatan infeksi S.mansoni dengan Astiban; dosis yang dipakai adalah 30 mg per kg berat badan. Dosis ini ternyata efektif untuk infeksi S.haeatobium, akan tetapi dosis tersebut agak terlalu rendah untuk infeksi S.mansoni.

Astiban diberikan secara intramuskular dalam bentuk larutan 10%. Dosis tergantung dari beberapa faktor seperti : umur, keadaan umum penderita, spesies parasit, pengobatan perorangan atau masal dan pengobatan radikal atau supresif.

Dosis total untuk dewasa adalah 30 – 50 mg/kg berat badan, dengan dosis maksimum 2,5 gram. Dosisi total ini harus dibagi dalam 5 kali suntikan. Pada anak-anak dengan berat badan kurang dari 20 kg, dosis total adalah 40 – 60 mg/kg berat badan.

Pada infeksi S.mansoni atau S.japonicum harus dipakai dosis yang lebih tinggi. Suntikan  diberikan satu atau dua kali seminggu pada penderita yang berobat jalan. Efek samping hampir sama dengan obat antimon lainnya, akan tetapi lebih ringan seperti pada pengobatan dengan tatras emetikus.

  1. 4.    Lucanthone- HCl, Miracil D. Nilodin (1- R. B-diethyl amino-ethylamino-4methyl thioxanthone-hydro chloride)

Obat ini untuk pertama kali diperkenalkan oleh Kikuth dan Gonnert dalam tahun 1948 sebagai obat anti skitosomiasis pertama yang dipakai secara oral dan bukan persenyawaan antimon. Dosis total adalah 60 mg/kg berat badan, yang diberikan 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk infeksi cacing S.mansoni diperlukan dosis lebih tinggi yaitu 75 mg/kg berat badan.

Sejak tahun 1960, obat ini dipakai untuk pengobatan masal di Suriname. Untuk mengobati efek samping dipakai obat anti histamin (Bonanime) walaupun hasilnya tidak begitu memuaskan. Oostburg menggunakan dosis untuk anak-anak dan dewasa > 12 tahun adalah 200 mg tiga kali sehari selama 10 hari. Dosis optimal adalah 10 – 20 mg/kg berat badan/hari. Dia memperoleh hasil cukup baik dengan angka penyembuhan 97,7 – 99,5% dalam waktu 3 bulan setelah pengobatan. Efek samping yang ditemukan adalah pusing, muntah, tidak nafsu makan, demam, mual dan semua penderita menunjukkan warna kekuning-kuningan pada . kelainan psikis tidak ditemukan.

  1. 5.    Niridazol (1-Nitro-2, thiazoyl-2 imidazolidnone) (Ambilhar, Ciba-32, 644, Ba)

Obat ini efektif secara oral dapat membunuh cacing dewasa dab telurnya dan ternyata lebih efektif untuk infeksi S.haematobium dan S.mansoni daripada S.japonicum.

Percobaan binatang menunjukkan bahwa obat ini menghambat bertelurnya cacing dewasa S.mansoni dan membunuh cacing jantan dan betina pada dosis yang tepat. Parasit dipaksa untuk meninggalkan vena mesentrika dan menuju ke hati (hepatic-shift) tempat parasit dimusnakan oleh daya tahan hospes. Niridazol agak lambat diserap dari traktus intestinalis dan diuraikan di dalam hati menjadi metabolit yang tidak toksik. Efek anti Schistosoma hanya disebabkan oleh obat yang belum diuraikan. Obat ternyata diserap cacing betina S.mansoni menyebabkan degenerasi ovarium dan merusak kelenjar vitelina. Cacing jantan ternyata lebih kurang sensitif terhadap obat ini, walaupun demikian spermatogenesis dihambat. Dalam beberapa tahun akhir ini obat tersebut dipakai untuk pengobatan percobaan secara besar-besaran dan ternyata merupakan obat yang cukup baik terhadap infeksi S.haematobium. beberapa penyelidik memperoleh angka penyembuhan 100% pada infeksi S.haematobium, dengan dosis 25 mg/kg berat badan/hari selama 7 – 10 hari.

Pengobatan infeksi S.japonicum dengan Niridazol telah dilakukan di Jepang, Filipina, dan Indonesia. Dosis yang dipakai adalah 25 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari berturut-turut dan mendapatkan hasil 20% masih positif 2 bualn setelah pengobatan, 13% masih positif 6 bulan setelah pengobatan 21,8% positif 11 bulan setelah pengobatan.

Efek samping yang pernah dilaporkan adalah keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, tidak nafsu makan dan diare.

Yang terpenting adalah gangguan psikis yang dapat terjadi secara akut, berupa psikosis, halusinasi, confusion, pusing, sakit kepala, anxiety dan kadang-kadang serangan epilepsi. Ternyata gangguan neuro-psikiatrik dan efek sampig lainnya lebih berat pada infeksi S.japonicum dan paling ringan pada infeksi S.haematobium.

  1. 6.    Prazikuantel (Embay (R) 8440; Droncit (R), Biltricide (R)) Bayer, A.G. dan Merck Darmstadt

Rumus : (2-cyclohexycarbonyl)-1,2,3,6,7,11,β-hexahydro-2H pyrazino (2,1.a)-iso-quinolin-4-one.

Penelitian toksisitas pada berbagai macam binatang percobaan menimbulkan toleransi cukup baik terhadap prazikuentel dan sangat efektif terhadap ketiga spesies cacing Schistosoma manusia, trematoda dan cestoda. Obat ini tidak meunjukkan adanya aktivitas mutagen pada binatang percobaan. Pada manusia prazikuantel sangat cepat diserap setelah diminum.

Di Indonesia prazikuantel dipakai untuk pertama kali sebagai pengobatan percobaan pada infeksi S.japonicum (Joesoef dkk, 1980). Pada 82 kasus skistomiasis dengan variasi umur antara 3 sampai 58 tahun yang telah diobati, 11 kasus diantaranya mempunyai gejala hepatosplenomegali dan asites.

Dosis yang dipakai adalah 35 mg per kg berat badan, diberikan 2 kali dalam satu hari sehingga dosis total adalah 70 mg/kg berat badan per hari. Hasil pengobatan menunjukkan angka penyembuhan sebesar 88,6%, 6 bulan setelah pengobatan dan angka pengurangan telur sebesar 89,5%. Efek samping adalah mual (3,7%) muntah (7,3%), nyeri daerah epigastrium (2,4%), sakit kepala (7,5%), pusing (6,1%), demam (2,4%) dan disentri (1,8%).

Dari pengobatan yang diuraikan di atas ternyata obat ini cukup baik dengan hasil penyembuhan cukup besar serta efek samping dapat dikatakan ringan, sehingga prospek obat ini cukup baik untuk dipakai dalam pengobatan masal sebagai obat anti Schistosoma di daerah Danau Lindu dan Napu, Sulawesi Tengah.

Epidemiologi

            Penyakit skistomiasis atau bilharzasis merupakan masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara. Di Indonesia hanya skistomiasis japonika ditemukan endemik di Sulawesi Tengah. Penyakit ini berhubungan erat dengan pertanian yang mendapat air dari irigasi. Fokus keong sebagai hospes perantara biasanya ditemukan di daerah pertanian tersebut. Dengan meluasnya daerah pertanian dan irigasi maka dapat terjadi penyebaran hospes perantara dan penyakitnya. Infeksi biasanya berlangsung pada waktu orang bekerja di sawah. Kelompok umur yang terkena pada umumnya adalah antara 5 – 50 tahun, dapat pula ditemukan infeksi pada umur lebih muda.

Penanggulangan penyakit ini sampai sekarang terutama ditekankan pada pengobatan masal yang diberikan 6 bulan sekali. Bila prevalensi sudah turun di bawah 5%, dapat diberikan pengobatan selektif. Walaupun demikian pemberatasan hospes perantara, perbaikan kesehatan lingkungan dan penerangan kesehatan sedapat mungkin harus diterapkan.

 

Schistosoma japonicum

 

Hospes dan Nama Penyakit

Hospesnya adalah manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing, kucing, rusa, tikus sawah (Rattus), sapi, babi rusa dan lain-lain.

Parasit ini pada manusia menyebabkan oriental schistosomiasis, skistomiasis japonika, penyakit Katayama atau penyakit demam keong.

Distribusi Geografik

Cacing ini ditemukan di RRC, Jepang, filipina, Taiwan, Muangthai, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia.

Di Indonesia hanya ditemukan di Sulawesi Tengah yaitu daerah danau Lindu dan Lembah Napu.

 

 

 

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,5 cm dan yang betina kira-kira 1,9 cm, hidupnya di vena mesentrika superior. Telur ditemukan di dinding usus halus dan juga di alat-alat dalam seperti hati, paru, dan otak.

 

 

Patologi dan Gejala Klinis

Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Yang ditemukan pada stadium I adalah gatal-gatal (urtikaria). Gejala intoksikasi disertai demam, hepatomegali dan eosinofilia tinggi. 

Pada stadium II ditemukan pula sindrom disentri. Pada stadium III atau stadium menahun ditemukan sirosis hati dan splenomegali; biasanya penderita menjadi lemah (emasiasi). Mungkin terdapat gejala saraf, gejala paru dan lain-lain.

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau dalam jaringan biopsi seperti biopsi hati dan biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis. Reaksi serologi yang biasa dipakai adalah COPT (Circumoval precipitin test), IHT (Indirect antibody test) dan ELISA (Enzyme linked immuno sorbent assay).

Epidemiologi

Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemi di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu di daerah danau lindu dan Lembah Napu. Di daerah danau Lindu penyakit ini ditemukan pada tahun 1937 dan di lembah Napu pada tahun 1972.

Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai hospes reservoar; yang terpenting adalah berbagai spesies tikus sawah (Rattus). Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi dan anjing dilaporkan juga mengandung cacing ini.

Hospes perantara, yaitu keong air Oncomelania hupensis lindoensis baru ditemukan pada tahun 1971 (Carney dkk, 1973). Habitat keong di daerah danau Lindu ada 2 macam, yaitu :

  1. Fokus di daerah yang digarap seperti ladang, sawah yang tidak dipakai lagi atau di pinggir parit di antara sawah.
  2. Fokus di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah

Cara penanggulangan skistomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah diterapkan sejak tahun 1982 adalah pengobatan masal dengan prasikuantel yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan melalui Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan lingkungan Pemukiman (Subdit, P2M & PLP) dengan hasil yang cukup baik. Prevalensi dari kira-kira 37% turun menjadi kira-kira 1,5% setelah pengobatan.

 

Schistosoma mansoni

Hospes dan Nama Penyakit

Hospes definitif adalah manusia dan kera baboon di Afrika sebagai hospes reservoar. Pada manusia cacing ini menyebabkan skistomiasis usus.

Distribusi Geografik

Cacing ini ditemukan di Afrika, berbagai negara Arab (Mesir), Amerika Selatan dan Tengah.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1 cm dan yang betina kira-kira ,4 cm. Pada badan cacing jantan S.mansoni terdapat tonjolan lebih kasar bila dibandingkan dengan S.haematobium dan S.japonicum. badan S.japonicum mempunyai tonjolan yang lebih halus. Tempat hidupnya di vena, kolon dan rektum. Telur juga tersebar ke alat-alat lain seperti hati, paru dan otak.

 

 

 


 

 

Patologi dan Gejala Klinis

Kelainan dan gejala yang ditimbulkannya kira-kira sama seperti pada S.japonicum, akan tetapi lebih ringan.

Pada penyakit ini splenomegali dilaporkan dapat menjadi berat sekali.

Diagnosis, Pengobatan, Prognosis dan Epidemiologi

Sama seperti pada S.japonicum.

 

Shistosoma haematobium

Hospes dan Nama Penyakit

Hospes definitif adalah manusia. Cacing ini menyebabkan skistomiasis kandung kemih. Baboon dan kera lain dilaporkan sebagai hospes reservoar.

Distribusi Geografik

Cacing ini ditemukan di Afrika, Spanyol dan di berbagai negara Arab (Timur Tengah, Lembah Nil); tidak ditemukan di Indonesia.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,3 cm dan yang betina kira-kira 2,0 cm. Hidupnya di vena panggul kecil, terutama di vena kandung kemih.

Telur ditemukan di uri alat-alat dalam lainnya, juga di alat kelamin dan rektum.

Patologi dan Gejala Klinis

Kelainan terutama ditemukan pada dinding kandung kemih. Gejala yang ditemukan adalah hematuria dan disuria bila terjadi sistitis. Sindrom disentri ditemukan bila terjadi kelainan di rektum.

Diagnosis, Pengobatan, Prognosis dan Epidemiologi

Sama seperti pada skistomiasis lainnya, hanya pada penyakit ini telah ditemukan di dalam urin.

 

Daftar Pustaka

Craig, Faust.Clinical Parasitology, 8th ed. Lea and Febiger, Philadelphia, 1971.

Neva FA and Brown HW. Basic Clinical Parasitology.ed.6. Prentice Hall Internatinal Editions.1994.  

 

Seung YC. Trematoda control activities in Korea. Proc, 1st korea Japan Parasitologists, Seminar (Forum Cheju I)1995 : 33 – 39.

 

Han JR. Epidemiology and control of clonorchiasis in Korea.Collected Papers. Parasite Control in Korea, 1994: 45 – 50.

 

Srivatakul P, Viyanant V, Kurathong S and Tiwawech D. Enzyme Linked immunosorbent assay for detection of opistorchis viverrini infection. Southest Asian J Trop Med Pub Hlth, 1985; 16:234-9

 

Hanwell Elkins MR, Sithitaworn P, Elkins D. Opisthorchis viverrini and Cholangio carcinoma in North East Thailand Parasitology Today, 1992:8:8-9.

 

Kawashima K, Paragonimus westermani complex in Asia. Proceed, 1st Korea Japan Parasitologists’ Seminar (forum Cheju I), 1995: 28 – 32.

 

Seung YC, epidemiologi of paragonimus in Korea. Collected Papers in Parasite Control Activities in Korea, 1994: 51-7

 

Iman Handoyo, Ismuljowona B, Darwis F and Rudiansyah A survey of Fasciolopsiasis in Sei Papuyu Village of Babirik Subdistrics, Hulu Sungai Utara Regency, South Kalimantan, Indonesia. Trop Biomed, 1986;3:113-8.

 

Iman Handoyo, Ismuljowona B, Darwis F and Rudiansyah. Futher survey of Fasciolopsiasis in Babirik Subdistrict, Hulu Sungai Utara Regency, South Kalimantan Province, Trop Biomed 1986;3:119-23.

 

Iman Handoyo, Ismuljowono B, Darwis F and Rudiansyah. Evalution of post treatment Control of Fasciolopsiasis in Sei Papuyu Village of Babirik Subdistrict, Hulu Sungai Utara Regency, South Kalimantan Province, Indonesia. Trop biomed, 1987;3:113-0.

 

Iman Handoyo, Ismuljowono B, Darwis F and Rudiansyah.Suatu fokus dari Fascilopsiasis endemik di Kecamatan Babirik, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Seminar Parasitologi Nasional ke V dan Kongres P41.ke IV Ciawi, Bogor, 20 – 22 Agustus 1988.

 

Hadidjaja P, Beberapa Penelitian Mengenai Aspek Biologik dan Klinik Schistomiasis di Sulawesi Tengah, Indonesia. Tesis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1982.

 

Faust EC, Wirght WH, Mc DB and Hunter GW III. The diagnosis of shistomiasis japonica I. The symptoms, signs and physical findings characteristic of shistosomiasis japonica at different stages in the development of the disease. Am J Trop Med, 1946; 26:87.

 

Jordan P and Webbe G. Human Schistomiasis. Heineman, London 1969.

 

Bonne C, Has emetice any influence on the schistosomes. Trans R Soc Trop Med Hyg, 1919; 12 : 82.

 

Alves W and Blair DM. Shistomiasis intensive treatment with antimony. Lancet 1946;1-9.

 

Friedheim P, Randall K.Bilharziasis in Tanganyika,observations on its effects and the effects of treatment in school children. J Trop Med Hyg, 1962;65-1.

 

Kikuth  W and Gannert R. Experimental studies on the therapy of schistomiasis. Ann trop Med Parasitol, 1948;42-256.

 

Hardjawijaja L, Clark RT, Sorensen K and Putrali J Drug trial of Schistosoma japonicum infection in Indonesia. South East Asian  Trop Med Public Helath, 1976;7:314.

Joesoef A, Shamsuddin N, Salman K, Oman K and Holz J. Praziquantel trial in treating Schistosoma japonicum infection in Indonesia. WHO Regional Steering Committee for the working group on Schistosoma japonicum. Manila, Philippines 1980.

 

 

 

 

 

 


 

CESTODA

 

 

Cacing pita termasuk subkelas CESTODA, kelas CESTOIDEA, filum PLATYHELMINTHES.  Cacing dewasanya menempati saluran usus vertebrata dan larvanya hidup di jaringan vertebrata dan invertebrata.

Bentuk badan cacing dewasa memanjang menyerupai pita, biasanya pipih dorsoventral, tidak mempunyai alat cerna atau saluran vaskular dan biasanya terbagi dalam segmen-segmen yang disebut proglotid yang bila dewasa berisi alat reproduktif jantan dan betina.

Ujung bagian anterior berubah menjadi sebuah alat pelekat, disebut skoleks, yang dilengkapi dengan alat isap dan kait-kait. Spesies penting yang dapat menimbulkan kelainan pada manusia umumnya adalah: Diphyllobothrium latum, Hymenolepis nana, Echinococcus granulosus, E.multilocularis, Taenia saginata dan Taenia solium.

Manusia merupakan hospes CESTODA ini dalam bentuk :

  1. Cacing dewasa, untuk spesies D.latum, T.saginata, T.solium, H.nana,H.diminuta, Dipylidium caninum.
  2. Larva, untuk spesies Diphyllobothrium sp, T.solium, H.nana, E.granulosus, Multiceps.

Sifat-sifat Umum

Badan cacing dewasa terdiri atas :

  1. Skoleks, yaitu kepala yang merupakan alat untuk melekat, dilengkapi dengan batil isap atau dengan lekuk isap.
  2. Leher, yaitu pertumbuhan badan.
  3. Strobila, yaitu badan yang terdiri atas segmen-segmen yang disebut proglotid. Tiap proglotid dewasa mempunyai susunan alat kelamin jantan dan betina yang lengkap; keadaan ini disebut hermafrodit.

Telur dilepaskan bersama proglotid atau tersendiri melalui lubang uterus. Embrio di dalam telur disebut onkosfer berupa embrio heksakan yang tumbuh menjadi bentuk infektif dalam hospes perantara.

Infeksi terjadi dengan menelan larva bentuk infektif atau menelan telur. Pada CESTODA dikenal dua ordo :

  1. PSEUDOPHYLLIDEA, dan
  2. CYCLOPYLLIDEA

 

PSEUDOPHYLLIDEA

PSEUDOPHYLLIDEA mempunyai skoleks dengan 2 lekuk isap (bothrium=suctorial groove). Lubang genital dan lubang uterus terletak di tengah-tengah proglotid. Telur mempunyai operkulum, berisi sel telur dan dikeluarkan bersama tinja. Dalam air, sel telur tumbuh menjadi onkosfer. Telur menetas dan keluarlah korasidium, yaitu embrio yang mempunyai banyak silium. Korasidium dimakan oleh hospes perantara I yang tergolong CEPEPODA (Cyclops,Diaptomus) dan tumbuh menjadi proserkoid.

Cyplops yang mengandung parasit dimakan oleh hospes perantara II (ikan,kodok). Dalam hospes perantara II ini larva tumbuh menjadi pleroserkoid (sparganum) yang merupakan bentuk infektif. Yang termasuk PSEUDOPHYLLIDEA adalah cacing Diphyllobothrium latum dan D.mansoni (Diphyllobothrium binatang).

 

 

 

Diphyllobothrium latum

(Taenia lata, dibothriocephalus latus, broad tapeworm, fish tapeworm)

 

Sejarah

Cacing pita ikan (fish tapeworm) dikenal sebagai spesies yang berbeda sejak tahun 1602 oleh Plater di Switzerland. Dengan adanya deskripsi skoleks yang jelas pada tahun 1977 Bannet dapat membedakan cacing ini dari cacing pita babi T.solium . Cacing ini pertama kali diperiksa di Amerika oleh Wemland pada tahun 1858 dan selanjutnya oleh Leidy pada tahun 1879 pada penderita yang mendapat infeksinya di Eropa. Perkembangan fokus endemik di Amerika Utara oleh imigran yang terinfeksi pertama kali dilaporkan pada tahun 1906. Ini menggambarkan transplantasi parasit dari Old World ke lingkungan baru.

Kasus autokron digambarkan di Filipina pada tahun 1935 dan dilaporkan 2 kasus dari 141 penduduk asli di Formosa pada tahun 1963. Selain daripada itu ada keadaan endemik di Papua Nugini.

Hospes dan Nama Penyakitnya

Manusia adalah hospes definitifnya.

Hospes reservoarnya adalah anjing. Kucing dan lebih jarang 22 mamalia lainnya, antara lain walrus, singa laut, beruang, babi dan serigala. Parasit ini menyebabkan penyakit yang disebut difilobotriasis.

Distribusi Geografik

Parasit ini ditemukan di Amerika, Kanada, Eropa, daerah danau di Swis, Rumania, Turkestan, Israel, Mancuria, Jepang, Afrika, Malagasi, dan Siberia.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa yang keluar dari usus manusia berwarna gading, panjangnya dapat sampai 10 m dan terdiri dari 3000 – 4000 buah proglotid; tiap proglotid mempunyai alat kelamin jantan dan betina yang lengkap. Telur mempunyai operkulum, berukuran 70 x 45 mikron, dikeluarkan melalui lubang uterus proglotid gravid dan ditemukan dalam tinja. Telur menetas dalam air. Larva disebut korasidium dan dimakan oleh hospes perantara pertama, yaitu binatang yang termasuk CEPEPODA seperti  Cyplos dan Diaptomus. Dalam hospes ini larva tumbuh menjadi proserkoid, kemudian Cyplops dimakan hospes perantara kedua yaitu ikan salem dan proserkoid berubah menjadi larva pleroserkoid atau disebut sparganum. Bila ikan tersebut dimakan hospes definitif, misalnya manusia, sedangkan ikan itu tidak dimasak dengan baik, maka sparganum di rongga usus halus tumbuh menjadi cacing dewasa.

 

 

Proserkoid berkembang di rongga badan kopepoda 

Proserkoid berkembang dalam otot  

Kopepoda yang infektif dimakan ikan air tawar 

Proserkoid menembus dinding usus masuk otot ikan 

Korasidium menembus alat cerna kopepoda, masuk ke rongga badan 

Termakan oleh manusia melalui ikan air tawar mentah atau yang dimasak kurang baik  

Skoleks dari plero-serkoid melekat pada mukosa usus, berkembang menjadi cacing dewasa  

Kopepoda (Cyclops, Diaptomus) memakan korasidium

Korasidium, larva bersilia menetas dari telur, berenang bebas dalam air

Telur yang belum berkembang keluar bersama tinja masuk dalam air tawar

Cacing dewasa di usus halus manusia

Daur Hidup Diphyllobothrium latum

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

Patologi dan Gejala Klinis

Penyakit ini biasanya tidak menimbulkan gejala berat, mungkin hanya gejala saluran cerna seperti diare, tidak nafsu makan dan tidak enak di perut.

Bila cacing hidup di permukaan usus halus, mungkin timbul anemia hiperkrommakrositer, karena cacing itu banyak menyerap vitamin B12, sehingga timbul gejala defisiensi vitamin tersebut. Bila jumlah caccing banyak, mungkin terjadi sumbatan usus secara mekanik atau terjadi obstuksi usus, karena cacing-cacing itu menjadi seperti benang kusut.

Diagnosis

Cara menegakkan diagnosis penyakit ini adalah dengan menemukan telur atau proglotid yang dikeluarkan dalam tinja.

Pengobatan

Penderita diberikan obat Atabrin dalam keadaan perut kosong, disertai pemberian Na-bikarbonas, dosis 0,5 gr.

 Obat pilihan adalah Niclosamid (Yomesan), diberikan 4 tablet (2 gram) dikunyah sekaligus setelah makan hidangan ringan. Obat lain yang juga efektif adalah paromomisin, yang diberikan dengan dosis 1 gram setiap 4 jam sebanyak 4 dosis. Selain daripada itu dapat dipakai prazikuantel dosis tunggal 10 mgr/kg berat badan.

Prognosis

Prognosis difilobotriasis baik, walaupun dengan anemia berat, karena setelah cacing dikeluarkan anemianya akan sembuh.  

Epidemiologi

Penyakit ini di Indonesia tidak ditemukan tetapi banyak dijumpai di negara-negara yang banyak makan ikan salem mentah dan kurang matang. Banyak binatang seperti anjing, kucing, dan babi bertindak sebagai hospes reservoar dan perlu diperhatikan.

Untuk mencegah terjadinya infeksi, ikan air tawar yang tersangka mengandung bibit penyakit harus terlebih dahulu dimasak dengan sempurna sebelum dihidangkan. Anjing sebagai hospes reservoar sebaiknya diberi obat cacing.

 

SPARGANOSIS

Tahun 1882 Manson mendapatkan sparganosis jaringan dari penduduk asli yang diautopsi di Amoy-RRC.

Larva pleroserkoid dari beberapa spesies cacing pita golongan Dyphyllobothrium telah ditemukan pada manusia dan diketahui sebagai sparganum dan penyakitnya disebut sparganosis.

 Dyphyllobothrium binatang misalnya D.mansoni memerlukan anjing, kucing dan banatang lainnya sebagai hospes definitifnya.

Manusia dapat bertindak sebagai hospes perantara kedua bila mengandung sparganum (pleroserkoid).

Daur Hidup

            Dalam tubuh manusia sparganum dapat mengembara di otot dan fasia, akan tetapi larva ini tidak dapat menjadi dewasa.

            Daur hidupnya sama seperti D.latum. dalam proses perantara pertama, yaitu Cyclops, dibentuk proserkoid dan dalam hospes perantara kedua yaitu hewan pengerat kecil, ular dan kodok, ditemukan pleroserkoid atau sparganum.

Patologi dan Gejala Klinik

            Pada manusia, larva ditemukan di seluruh bagian badan, terutama di mata, juga di kulit, jaringan otot, toraks, perut, paha, daerah inguinal dan dada bagian dalam. Sparganum dapat menyebar ke seluruh jaringan. Perentangan dan pengerutan llarva menyebabkan peradangan dan edema jaringan sekitarnya  dan pengerutan larva menyebabkan peradangan dan edema jaringan sekitarnya yang nyeri. Larva yang rusak menyebabkan peradangan lokal yang dapat menjadi nekrosis.

            Penderita dapat menunjukkan sakit lokal, urtikaria raksasa yang timbul secara periodik, edema dan kemerahan yang disertai dengan menggigil, demam dan hipereosinofilia.

            Infeksi pada bol mata yang relatif sering terjadi di Asia Tenggara menyebabkan konjungtivitis disertai bengkak dengan lakrimasi dan ptosis.

Diagnosis

            Diagnosis dibuat dengan menemukan larva di tempat kelainan. Untuk identifikasi diperlukan binatang percobaan.

Pengobatan

Untuk pengobatan dilakukan pembedahan dan pengangkatan larva.

Prognosis

Prognosis tergandung pada lokasi parasit dan pembedahan yang berhasil.

Epidemiologi

            Parasit ini ditemukan di Asia Timur dan Asia Tenggara, Jepang, Indocina, Afrika, Eropa, Australia, Amerika Selatan dan Indonesia. Manusia menderita sparganosis karena :

  1. Minum air yang mengandung Cyclops yang infektif
  2. Makan kodok, ular atau binatang pengerat yang mengandung pleroserkoid
  3. Mempergunakan daging kodok yang infektif untuk obat

Di daerah endemi, air minum perlu dimasak atau disaring dan daging hospes perantara dimasak dengan sempurna.

Cara yang dipakai untuk pengobatan dengan menggunakan daging kodok pada daerah mukosa-kutan yang meradang, sebaiknya dicegah.

 

CYCLOPHYLLIDEA

            CYCLOPHYLLIDEA mempunyai skoleks (kepala) dengan 4 batil isap dan dilengkapi rostelum dengan atau tanpa kait-kait, lubang kelamin terdapat di pinggir proglotid, dapat unilateral atau bilateral selang-seling. Rostelum adalah penonjolan di skoleks. Lubang uterus (uterine pore) tidak ada.

            Proglotid yang gravid merupakan kantong telur yang keluar bersama tinja. Telur yang berisi onkosfer tumbuh dalam hospes perantara dan menjadi bentuk infektif.

            Ordo CYCLOPHYLLIDEA termasuk kelas CESTOIDEA. Cacing-cacing ini dikenal dengan nama umum cacing pita. Cacing CYCLOPHYLLIDEA yang penting di Indonesia adalah Taenia saginata dan Taenia solium. Yang tidak penting di Indonesia adalah Hymenolepis nana, Hymenolepis diminuta, Dipylidium cacinum, Echinococcus granulosus, Echinococcus multilocularis dan Multiceps spp.

 

Cacing pita yang penting di Indonesia

Tania Saginata

Sejarah

            Cacing pita dari sapi, telah dikenal sejak dahulu; akan tetapi identifikasi cacing tersebut baru menjadi jelas setelah tahun 1782, karena karya Goeze dan Leuckart. Sejak waktu itu,diketahui adanya hubungan antara infeksi cacing Taenia saginata dengan larva sistiserkus bovis, yang ditemukan pada daging sapi; bila seekor anak sapi diberi makan proglotid gravid cacing Taenia saginata, maka pada dagingnya akan ditemukan sistiserkus bovis.

Hospes dan Nama Penyakit

Hospes definitif dari cacing pita Taenia saginata adalah manusia sedangkan hewan memamah biak dari keluarga Bovidae, seperti sapi, kerbau dan lainnya adalah hospes perantaranya. Nama penyakitnya adalah teniasis saginata.

Distribusi geografik

Cacing tersebut adalah kosmipolit, didapatkan di Eropa, Timur Tengah, Afrika, Asia, Amerika Utara, Amerika Latin, Rusia, dan juga Indonesia, yaitu daerah Bali, Jakarta dan Lain-lain.

Morfologi dan Daur Hidup

            Cacing pita Taenia saginata adalah salah satu cacing yang berukuran besar dan panjang; terdiri dari kepala yang disebut skoleks, leher dan strobila yang merupakan rangkaian ruas-ruas proglotid, sebanyak 1000 – 2000 buah. Panjang cacing 4 – 12 meter atau lebih. Skoleks hanya berukuran 1 – 2 milimeter. Mempunyai empat batil isap dengan otot-otot yang kuat¸tanpa kait-kait. Bentuk leher sempit, ruas-ruas tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat struktur tertentu. Strobila terdiri dari rangkaian proglotid yang belum dewasa (imatur) yang dewasa (matur) dan yang mengandung telur atau disebut gravid. Pada proglotid yang belum dewasa, belum terlihat struktur alat kelamin yang jelas. Pada proglotid yang dewasa terlihat struktur alat kelamin seperti folikel testis yang berjumlah 300 – 400 buah, tersebar di bisang dorsal. Vas deferensnya bergabung untuk masuk ke rongga kelamin (genital atrium), yang berakhir di lubang kelamin (genital pore). Lubang kelamin ini letaknya selang-seling pada sisi kanan dan kiri strobila. Di bagian posterior lubang kelamin, dekat vas deferens, terdapat tabung vagina yang berpangkal pada ootip.

            Ovarium terdiri dari 2 lobus, berbentuk kipas, besarnya hampir sama. Letak ovarium di sepertiga bagian posterior dan proglotid. Vitelaria letaknya di belakang ovarium dan merupakan kumpulan folikel yang eliptik.

            Uterus tembuh dari bagian anterior ootip dan menjulur ke bagian anterior proglotid. Setelah uterus ini penuh dengan telur, maka cabang-cabangnya akan tumbuh, yang berjumlah 15 – 30 buah pada satu sisinya dan tidak memiliki lubang uterus (porus uterinus). Proglotid yang sudah gravid letaknya terminal dan sering terlepas dari strobila. Proglotid ini dapat bergerak aktif, keluar dengan tinja atau keluar sendiri dari lubang dubur (spontan). Setiap harinya kira-kira 9 buah proglotid dilepas. Proglotid ini bentuknya lebih panjang daripada lebar. Telur dibungkus embriofor, yang bergaris-garis radial, berukuran 30 – 40 x 20 – 30 mikron, berisi suatu embrio heksakan atau onkosfer. Telur yang baru keluar dari uterus masih diliputi selaput tipis yang disebut lapisan luar telur. Sebuah proglotid gravid berisi kira-kira 100.000 buah telur. Waktu proglotid terlepas dari rangkaiannya dan menjadi koyak; cairan putih susu yang mengandung banyak telur mengalir keluar dari sisi anterior proglotid tersebut, terutama bila proglotid berkontraksi waktu gerak.

            Telur-telur ini melekat pada rumput bersama tinja, bila orang berdefekasi di padang rumput; atau karena tinja yang hanyut dari sungai di waktu banjir. Ternak yang makan rumput yang terkontaminasi dihinggapi cacing gelembung, oleh karena telur yang tertelan dicerna dan embrio heksakan menetas. Emria heksakan disaluran pencernaan ternak menembus dinding usus, masuk ke saluran getah bening atau darah dan ikut dengan aliran darah ke  jaringan ikat di sela-sela otot untuk tumbuh menjadi cacing gelembung, disebut sistiserkus bovis, yaitu larva Taenia saginata. Peristiwa ini terjadi setelah 12 – 15 minggu.

            Bagian tubuh ternak yang sering dihinggapi larva tersebut adalah otot maseter, paha belakang dan punggung. Otot dibagian lain juga dapat dihinggapi. Setelah 1 tahun cacing gelembung ini biasanyan mengalami degenerasi, walaupun ada yang hidup sampai 3 tahun.

            Bila cacing gelembung yang terdapat di daging sapi yang dimasak kurang matang termakan oleh manusia, koleksnya keluar dari cacing gelembung dengan cara evaginasi dan melekat pada mukosa usus halus seperti yeyunum. Cacing gelembung tersebut dalam waktu 8 – 10 minggu menjadi dewasa.

            Biasanya di rongga usus hospes terdapat seekor cacing.

 

 

 

 

 

 

Patologi dan Gejala klinis

Cacing dewasa Taenia saginata, biasnya menyebabkan gejala klinis yang ringan, seperti sakit ulu hati, perut terasa tidak enak, mual, muntah, mencret, pusing atau gugup. Gejala-gejala tersebut disertai dengan ditemukannya proglotid cacing yang bergerak-gerak lewat dubur bersama dengan atau tanpa tinja. Gejala yang lebih berat dapat terjadi, yaitu apabila proglotid menyasar masuk apendiks, atau terdapat ileus yang disebabkan obstruksi usus oleh strobila cacing. Berat badan tidak jelas menurun. Eosinofilia dapat ditemukan di darah tepi.

Diagnosis

            Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya proglotid yang aktif dalam tinja, atau keluar spontan; juga dengan ditemukannya telur dalam tinja atau usap anus. Proglotid kemudian dapat diindetifikasi dengan meredamnya dalam cairan laktofenol sampai jernih. Setelah uterus dengan cabang-cabangnya terlihat jelas, jumlah cabang-cabang dapat dihitung.

Pengobatan

            Obat yang dapat digunakan untuk mengobati teniasis saginata, secara singkat dibagi dalam :

Obat tradisional   :    Biji labu merah, biji pinang

Obat lama             :    Kuinakrin, amodiakuin, niklosamid

Obat baru             :    Prazikuantel dan albendazol

Prognosis

Prognosis umumnya baik; kadang-kadang sulit untuk menemukan skoleksnya dalam tinja setelah pengobatan.

 

 

Epidemiologi

Cacing tersebut sering ditemukan di negara yang penduduknya banyak makan daging sapi/kerbau. Cara penduduk memakan daging tersebut yaitu matang (well done), setengah matang (medium) atau mentah (rare); dan cara memelihara ternak memainkan peranan. Ternak yang dilepas di padang rumput lebih mudah dihinggapi cacing gelembung tersebut, daripada ternak yang dipelihara dan dirawat dengan baik di kandang.

            Pencegahan dapat dilakukan antara lain dengan mendinginkan daging sampai -10°C, iradiasi dan memasak daging sampai matang.

 

Taenia solium

Sejarah

Cacing pita dari daging babi, diketahui sejak Hippocrates, atau mungkin sudah sejak Nabi Musa walaupun pada waktu itu belum dapat dibedakan antara cacing pita daging sapi dengan cacing pita daging babi, sampai pada karya Goeze (1782).

Aristophane dan Aristoteles melukiskan stadium larva atau sistiserkus selulose pada lidah babi hutan. Gessner (1558) dan Rumler (1588), melaporkan stadium larva pada manusia. Kuchenmeister (1855) dan Leuckart (1856), adalah sarjana-sarjana pertama kali mengadakan penelitian daur hidup cacing tersebut dan membuktikan bahwa cacing gelembung yang didapatkan pada daging babi, adalah stadium larva cacing Taenia solium.

Hospes dan Nama Penyakit

Hospes definitif cacing pita tersebut adalah manusia, sedangkan hospes perantaranya adalah manusia dan babi. Manusia yang dihinggapin cacing dewasa Taenia solium, juga menjadi hospes perantara cacing ini. Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing dewasa adalah Teniasis solium dan yang disebabkan stadium larva adalah sistiserkosis.

Distribusi Geografik

Taenia solium adalah kosmopolit, akan tetapi jarang ditemukan di negara-negara islam. Cacing tersebut banyak ditemukan di negara-negara yang mempunyai banyak peternakan babi dan ditempat daging babi banyak disantap seperti di Eropa, (Czech, Slowakia, Krowatia, Serbia), Amerika latin, Cina, India, Amerika Utara, dan juga dibeberapa daerah di Indonesia antara lain di Papua, Bali dan Sumatera Utara.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing pita Taenia solium, berukuran panjang kira-kira 2 – 4 m dan kadang-kadang sampai 8 m. Cacing ini seperti cacing Taenia saginata, terdiri dari skoleks, leher, dan strobila, yang terdiri dari 800 – 1000 ruas proglotid. Skoleks yang bulat berukuran kira-kira 1 mm, mempunyai 4 buah batil isap dengan rostelum yang mempunyai 2 baris kait-kait, masing-masing sebanyak 25 – 30 buah. Seprti Taenia saginata, strobila terdiri dari rangkaian proglotid yang belum dewasa (imatu), dewasa (matur) dan mengandung telur (gravid). Gambaran alat kelamin pada proglotid dewasa sama dengan Taenia saginata, kecuali jumlah filokel testisnya lebih sedikit, yaitu 150 – 200 buah. Bentuk proglotid gravid mempunyai ukuran panjang hampir sama dengan lebarnya. Jumlah cabang uterus pada proglotid gravid adalah 7 – 12 buah pada satu sisi. Lubang kelamin letaknya bergantian selang-seling pada sisi kanan atau kiri strobila secara tidak beraturan.

Proglotid gravid berisi kira-kira 30.000 – 50.000 buah telur. Seperti pada Taenia saginata, telurnya keluar melalui celah robekan proglotid. Telur tersebut bila termakan oleh hospes perantara yang sesuai, maka dindingnya dicerna dan embrio heksakan keluar dari telur, menembus dinding usus dan masuk kesaluran getah bening atau darah. Embrio heksakan kemudian ikut aliran darah dan menyangkut dialiran otot babi. Embrio heksakan caciong gelembung (sistiserkus) babi, dapat dibedakan dari cacing gelembung sapi dengan adanya kait-kait di skoleks yang tunggal. Cacing gelembung yang disebut sistiserkus selulose biasanya ditemukan pada otot lidah, punggung dan pundak babi. Hospes perantara lain kecuali babi, adalah monyet, onta, anjing, babi hutan, domba, kucing, tikus, dan manusia. Lara tersebut berukuran 0,6 – 1,8 cm. Bila daging babi yang mengandung larva sistiserkus dimakan setengah matang atau mentah oleh manusia, dinding kista dicerna, skoleks mengalami revaginasi untuk kemudian melekat pada dinding usus halus seperti yeyunum. Dalam waktu 3 bulan cacing tersebut menjadi dewasa dan melepaskan proglotid dengan telur.

 

 

 

 

Patologi dan Gejala Klinis

            Cacing dewasa, yang biasanya berjumlah seekor, tidak menyebabkan gejala klinis yang berarti, bila ada, dapat berupa nyeri ulu hati, mencret, mual, obstipasi dan sakit kepala. Darah tepi dapat menunjukkan eosinofilia.

            Gejala klinis yang lebih berarti dan sering diderita, disebabkan oleh larva dan disebut sistiserkosis.

            Infeksi ringan biasanya tidak menunjukkan gejala, kecuali bila alat yang dihinggapi adalah alat tubuh yang penting.

            Pada manusia, sistiserkus atau larva Taenia solium sering menghinggapi jaringan subkutis, mata, jaringan otak, otot, otot jantung, hati, paru, dan rongga perut. Walaupun sering dijumpai, klasifikasi (perkapuran) pada sistiserkus tidak menimbulkan gejala, akan tetapi sewaktu-waktu terdapat pseudohipetrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi, dan eosinofilia.

            Pada jaringan otak atau medula spinalis, sistiserkus jarang mengalami kalsifikasi. Keadaan ini sering menimbulkan reaksi jaringan dan dapat mengakibatkan serangan ayan (epilepsi), meningo-ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala dan kadang-kadang kelainan jiwa. Hidrosefalus internus dapat terjadi, bila timbul sumbatan aliran cairan serebrospinal.

            Sebuah laporan mengatakan bahwa sistiserkus yang ditemukan di dalam ventrikel IV dari otak, dapat menyebabkan kematian.

Diagnosis

Diagnosis Teniasis solium dilakukan dengan menemukan telur dan proglotid. Telur sukar dibedakan dengan telur Taenia saginata.

Diagnosis sistiserkosis dapat dilakukan dengan cara :

  1. Ekstirpasi benjolan yang kemudian diperiksa secara histopatologi.
  2. Radiologis dengan cara CT scan atau Magnetik Resonance Imagen (MRI).
  3. Deteksi antibodi dengan teknik ELISA, Western Blot (EIBT), uji hemaglutinasi, CIE (Counter Immuno Elektrophoresis)
  4. Deteksi coproantigen pada tinja
  5. Deteksi DNA dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction).

Pengobatan

Untuk pengobatan penyakit Teniasis solium digunakan prazikuantel. Untuk sistiserkosis digunakan obat prazikuantel, albendazol, atau dilakukan pembedahan.

Prognosis

Prognosis untuk Taenia solium cukup baik, dapat disembuhkan dengan pengobatan. Pada sistiserkosis, prognosis tergantung berat ringannya infeksi dan alat tubuh yang dihinggapi. Bila yang dihinggapi alat penting, prognosis kurang baik.

Epidemologi

Walaupun cacing ini kosmopolit, kebiasaan hidup penduduk yang dipengaruhi tradisi kebuadayaan dan agama, memainkan peranan penting. Pada orang bukan pemeluk agama islam yang biasanya memakan daging babi, penyakit ini ditemukan.

 Cara menyantap daging tersebut, matang, setengah matang, atau mentah dan pengertian akan kebersihan atau hygiene, memainkan peranan penting dalam penularan cacing Taenia solium maupun sistiserkus selulose. Pengobatan perorangan maupun pengobatan massal harus dilaksanakan agar supaya penderita tidak menjadi sumber infeksi bagi diri sendiri maupun babi dan hewan lain seperti anjing.

Pendidikan mengenai kesehatan harus dirintis. Cara-cara ternak babi harus diperbaiki, agar tidak ada kontak dengan tinja manusia. Sebaiknya untuk ternak babi harus digunakan kadang yang bersih dan makanan ternak yang sesuai.

Pencegahan dapat dilakukan seperti penyakit Teniasis saginata.

 

CACING PITA YANG KURANG PENTING DI INDONESIA

Hymenolepis nana

(dwarf tapeworm)

Sejarah

Spesies ini ditemukan oleh Bilharz pada tahun 1851 dalam usus halus seorang anak asli di Kairo, Grasee dan Rovell (1887, 1892), pertama kali memperkenalkan daur hidup yang tidak mempunyai hospes perantara.

Hospes dan Nama Penyakit

Hospesnya adalah manusia dan tikus. Cacing ini menyebabkan penyakit himenolepiasis.

Distribusi Geografik

Penyebarannya kosmopolit, lebih banyak didapat di daerah dengan iklim panas daripada iklim dingin dan juga ditemukan di Indonesia.

Morfologi dan Daur Hidup

Dari golongan CESTODA yang ditemukan pada manusia, cacing ini mempunyai ukuran terkecil. Panjangnya kira-kira 25 – 40 mm dan lebarnya 1 mm. Ukuran strobila biasanya berbanding terbalik dengan jumlah cacing yang ada dalam hospes. Skoleks berbentuk bulat kecil, mempunyai 4 buah batil isap dan rostelum yang pendek dan berkait-kait. Bagian leher panjang dan halus. Strobila dimulai dengan proglotid imatur yang sangat pendek dan sempit, lebih ke distal menjadi lebih lebar dan luas. Pada ujung distal strobila membulat.

Telur keluar dari proglotid paling distal dan hancur. Bentuknya lonjong, ukurannya 30 – 47 mikron, mempunyai lapisan yang jernih dan lapisan dalam yang mengelilingi sebuah onkosfer dengan penebalan pada kedua kutub, dari masing-masing kutub keluar 4 – 8 filamen. Dalam onkosfer terdapat 3 pasang duri (kait) yang berbentuk lanset. Cacing dewasa hidup di usus halus untuk beberapa minggu. Proglotid gravid melepaskan diri dari badan, telurnya dapat ditemukan dalam tinja, cacing ini tidak memerlukan hospes perantara. Bila telur tertelan kembali oleh manusia atau tikus, aka di rongga usus halus telur menetas, larva keluar dan masuk ke selaput lendir usus halus dan membentuk larva sistiserkoid, kemudian keluar ke rongga usus dan menjadi dewasa dalam waktu 2 minggu atau lebih. Pada infeksi percobaan, berbagai pinjal dan kutu beras dapat menularkan murine strain.

Orang dewasa kurang rentang dibandingkan dengan anak. Kadang-kadang usus dapat menetas di rongga usus halus sebelum dilepaskan bersama tinja. Keadaan ini disebut autoinfeksi internal. Hal ini memberi kemungkinan terjadi infeksi berat sekali yang disebut hiperinfeksi, sehingga cacing dewasa dapat mencapai jumlah 2000 ekor pada seorang penderita.

 

Daur Hidup Hymenolepis nana

Sistiserkoid pecah masuk ke rongga usus

Cacing dewasa di usus halus

Telur berisi embrio

Tetap dalam usus

Keluar bersama tinja 

Termakan manusia  

Onkosfer menetas dan menembus vilus   

Skoleks melekat pada mukosa usus

Sistiserkoid   


 

 

Patologi dan Gejala Klinis

Parasit ini biasanya tidak menyebabkan gejala. Jumlah yang besar dari cacing yang menempel pada dinding usus halus menimbulkan iritasi mukosa usus. Kelainan yang sering timbul adalah toksemia umum karena penyerapan sisa metabolit dari parasit masuk ke dalam sistem peredaran darah penderita. Pada anak kecil dengan infeksi berat, cacing ini kadang-kadang menyebabkan keluhan neurologi yang gawat, mengalami sakit perut dengan atau tanpa diare, kejang-kejang, sukar tidur dan pusing. Eosinofilia sebesar 8 – 16%. Sakit perut, diare, obstipasi dan anoreksia merupakan gejala ringan.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telurnya dalam tinja.

Pengobatan

Obat yang efektif adalah Atabrine, bitional, prazikuantel dan niklosamid, tetapi saat ini obat tersebut sulit di dapat di Indonesia. Obat yang efektif dan ada di pasaran Indonesia adalah amodiakuin. Hiperinfeksi sulit diobati, tidak semua cacing dapat dikeluarkan dan sistiserkoid masih ada di mukosa usus.

Prognosis

Prognosis baik, tetapi diperlukan pengobatan yang lama.

Epidemiologi

Cacing pita ini tidak memerlukan hospes perantara. Infeksi kebanyakan terjadi secara langsung dari tangan ke mulut. Hal ini sering terjadi pada anak-anak umur 15 ke bawah.

Kontaminasi dengan tinja tikus perlu mendapat perhatian. Infeksi pada manusia selalu disebabkan oleh telur yang tertelan dari benda-benda yang terkena tanah, dari tempat buang air atau langsung dari anus ke mulut. Kebersihan perorangan terutama pada keluarga besar dan diperumahan panti asuhan hasus diutamakan.

 

Hymonelepis diminuta

Hospes

Tikus dan manusia merupakan hospes cacing ini.

Distribusi Geografik

Penyebaran cacing ini kosmopolit, juga ditemukan di indonesia.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa berukuran 20 – 60 cm, koleks kecil bulat, mempunyai 4 batil isap dan rostelum tanpa kait-kait. Proglotid gravid lepas dari strobila, menjadi hancur dan telurnya keluar bersama tinja. Telurnya agak bulat, berukuran 60 – 79 mikron, mempunyai lapisan luar yang jernih dan lapisan yang dalam yang mengelilingi onkofer dengan penebalan pada dua kutub, tetapi tanpa filamen. Onkosfer mempunyai 6 buah kait.

Cacing dewasa hidup di rongga usus halus. Hospes perantaranya adalah serangga berupa pinjal dan kumbang tepung. Dalam pinjal, telur berubah menjadi larva sistiserkoid. Bila serangga dengan sistiserkoid tertelan oleh hospes definitif maka larva menjadi cacing dewasa di rongga usus halus.

Patologi dan Gejala Klinis

Parasit ini tidak menimbulkan gejala. Iinfeksi biasanya secara kebetulan saja.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telurnya dalam tinja. Sekali-sekali cacing dapat keluar secara spontan secara purgasi.

Pengobatan

Atabrine merupakan obat yang efektif.

Epidemiologi

Hospes definif mendapat infeksi bila hospes perantara yang mengandung parasit tertelan secara kebetulan.

Dypilidium caninum

Hospes

Anjing dan manusia adalah hospes cacing ini.

Distribusi Geografik

Penyebaran cacing ini kosmopolit.

Morfologi dan Daur Hidup

Panjang cacing ini kira-kira 25 cm. Skoleks kecil, berbentuk jajaran genjang, mempunyai 4 batil isap dan rostelum dengan kait-kait. Leher cacing pendek dan langsing. Bentuk proglotid seperti tempayan, tiap proglotid mempunyai dua perangkat alat kelamin. Telur biasanya berkelompok di dalam satu kapsul yang berisi kira-kira 15 – 25 butir telur. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus. Bila telur tertelan pinjal anjing, maka terbentuk sistiserkoid yang tumbuh menjadi dewasa di usus halus hospes definitif

Patologi dan Gejala Klinis

Parasit ini tidak menimbulkan gejala.

Dignosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan proglotid yang bergerak aktif atau menemukan kapsul-kapsul telur dalam tinja.

Pengobatan

Atabrine merupakan obat yang efektif.

 

 

Epidemiologi

Sebagian besar penderita adalah anak. Infeksi ini kebanyakan terjadi karena bergaul erat dengan anjing sebagai binatang peliharaan.

 

Echinococcus granulosus

Sejarah

Hippocrates, Aretaeus dan Golden telah mengenal gejala klinik penyakit yang disebabkan oleh kista hidatid. Pada tahun 1766 Palbes untuk pertama kali menyatakan persamaan hidatid pada manusia dan pada binatang lain. Infeksi kista hidatid yang pertama dibuat diagnosis pada manusia ialah di Amerika Serikat pada tahun 1808.

Hospes dan Nama Penyakit

Anjing dan karnivora lainnya adalah hospes cacing ini.

Manusia dapat dihinggapi stadium larvanya yang menimbulkan penyakit yang disebut hidatidosis.

Distribusi Geografik

Parasit ini ditemukan di Amerika Selatan, Afrika, Amerika Selatan, Eropa, RRC, Jepang, Filifina, dan negara-negara Arab.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa adalah cacing yang kecil, berukuran 3 – 6 mm, yang melekat pada vilus usus halus anjing dan hospes definitif lainnya. Skoleks bulat, dilengkapi 4 butil isap dan rostelum dengan kait-kait dan mempunyai leher. Cacing hanya mempunyai 1 proglotid imatur, 1 proglotid matur dan 1 proglotid gravid. Proglotid terminal adalah paling lebar dan paling panjang. Telur dikeluarkan bersama tinja anjing atau karnivora lainnya. Bila telur tertelan oleh hospes perantara yang sesuai seperti kambing, domba, babi, onta, juga manusia, maka telur menetas di rongga duodenum dan embrio yang dikeluarkan menembus dinding usus, masuk ke saluran limfe dan peredaran darah dan di bawah ke alat-alat lain dalam tubuh, terutama hati, paru, otak, ginjal, limpa, otot, tulang dan lain-lain. Dalam alat-alat ini terbentuk kista hidatid. Ukurannya dapat mencapat sebesar buah kelapa dalam jangka waktu 10 – 20 tahun.

Bila kista ini termakan anjing, maka di usus halus menjadi cacing . cara infeksi adalah dengan menelan telur.

Patologi dan Gejala Klinis

Gejala-gejala yang ditimbulkan larva cacing disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : (1) desakan kista hidatid, (2) cairan kista yang dapat menimbulkan reaksi alergi, (3) pecahnya kista, sehingga cairan kista masuk peredaran darah dan dapat menimbulkan renjatan anafilaktik yang mungkin dapat mengakibatkan kematian.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan skoleks yang dikeluarkan dari cairan kista atau dengan reaksi Casoni; suatu tes intrakutan dengan hasil kira-kira 86% dari kasus memberikan reaksi positif.

Pengobatan

Semua cara tanpa pembedahan biasanya tidak berhasil. Pembedahan hanya berhasil pada penderita dengan kista unilokuler di tempat yang dapat dioperasi.

Prognosis

Prognosis baik pada tipe unilokuler bisa kista dapat dioperasi dan diangkat tanpa kista atau hydatid sand keluar di rongga yang dioperasi.

Epidemologi

Hidatidosis penting di daerah dengan ternak domba dan yang berhubungan erat dengan anjing, misalnya di negeri Belanda dan Selandia Baru.


Hydatid sand

Skoleks dari kista termakan anjing 

Kista terdiri dari

–  Broad capsule

–  Lapisan germinatif

–  Lapisan kutikulum

–  Jaringan hospes

Paru dan alat lain  

Hati dan rongga perut 

Manusia domba dan mamalia lain

Telur dalam tinja anjing

Cacing pita dewasa di usus anjing

Kista ditemukan di

Daur Hidup Echinococcus granulosus

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 Gambar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                                                                                  

Echinococcus alveolaris

Sejarah

Lebih dari satu abad yang lalu banyak ahli patologi, antara lain Virchow (1855) melihat kista hidatid pada autopsi dengan morfologi yang berbeda dari tipe kista unilokularis. Tahun 1863 Leukart menentukan variasi ini sebagai Taenia echinococcus multicularis dan tahun 1883 Klemm menyebutnya sebagai E.alveolaris.

Hospes

Anjing dan karnivora lain merupakan hospes parasit ini.ospes

Distribusi Geografik

Penyebaran cacing ini sampai di Balkan, Rusia, Siberia, Alaska, Australia, Selandia Baru. Di Indonesia parasit ini tidak ditemukan.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing ini mempunyai bentuk sama dengan e.granulosus, tetapi ukurannya lebih kecil, yaitu 1,2 – 3,7 mm.

            Cacing dewasa hidup di rongga usus halus anjing yang mendapat infeksi bila memakan binatangh pengerat. Hospes perantaranya adalah mencit ladang dan tupai tanah yang mendapat infeksi bila menelan telur dari tinja anjing. Dalam tubuh hospes perantara termasuk juga manusia, tumbuh larva yang disebut kista hidatid.

Kista hidatid ini berbeda dengan kista hidatid cacing E.granulosus, karena dapat menyebar ke alat dalam lainnya.

Patologi dan Gejala Klinis

Kista hidatid tumbuh seperti tumor ganas. Skoleks tersebar ke seluruh tubuh sehingga gajalanya lebih berat daripada hidatidosis yang disebabkan oleh E.granulosus.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan tes imunologi

Pengobatan

Bioterapi dilakukan untuk membunuh parasit dan membiarkan abssorpsi yang perlahan-lahan.

Prognosis

Prognosis buruk dengan keadaan yang bertingkat-tingkat

Epidemiologi

Infeksi dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan tinja anjing terutama pada anak-anak.

Multiceps spp.

Hospes dan Nama Penyakit

Anjing dna karnivora lain adalah hospes parasit ini. Penyakit pada manusia disebut senurosis (coenurosis).

Distribusi Geografik

Penyebaran parasit ini kosmopolit, terutama di negeri yang banyak peternakan dombanya.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa berukuran 40 – 60 cm, mempunyai skoleks dengan postelum yang berkait-kait. Hidupnya di rongga usus halus anjing. Hospes perantara cacing ini adalah ternak (domba, kambing dan herbivora lainnya). Kadang-kadang juga manusia. Infeksi pada hospes perantara terjadi karena menelan telur yang keluar dengan tinja anjing. Onkosfer menetas dalam usus hospes perantara dan masuk jaringan tubuh dan berkembang terutama di otak dan sumsum tulang belakang. Di sini larva berubah menjadi nsenurus, yaitu gelembung yang mempunyai banyak skoleks.

Patologi dan Gejala Klinis

Parasit ini dapat menyebabkan gejala otak sepperti kesulitan dalam berbicara (afasia), lumpuh anggota badan (paraplegia), hemiplegia dan muntah-muntah.

Diagnosis

Diagnosis pasti dibuat dengan pemeriksaan mikroskopik jaringan biopsi.

Prognosis

Prognosis adalah buruk, tidak ada pengobatan yang spesifik.

Daftar Pustaka

Craig, Faust. Clinical Parasitology. Eighth edition, 1971.

Neva FA and Brown HW. Basic Clinical Parasitology, ed.6.Prentice Hall International Editions, 1994.

 

Margono SS, Ito A, Suroso T. The Problem of taeniasis and cysticercoids in Irian Jaya (Papua), Indonesia of The Sixth Asian-Pacific Congress for Parasitic Zoonoses, 2000, Taipei Taiwan.p.55 – 64.

 

Wandra T, Subahar R, Simanjuntak GM, Margono SS, Suroso T, Okamoto M, Nakao M, Sako Y, Nakaya K, Schantz PM, Ito A. Resurgence of cases of epileptic seizures and burns associa with cysticercoids in assologaima, Jayawijaya, Irian Jaya, Indonesia, 1991 – 1995. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene (2000) 94, 46 – 50.

 

White AC, Jr. Neurocysticersosis: A majior cause of Neurological disease Worldwide Clinical Infections Diseases 1997; 24 : 101 – 115.

 

Tinggalkan komentar